Oleh: Moh Sofwan Abbas - 03/01/14 | 28 Safar 1435 H
dakwatuna.com -“Sudahlah, jangan bersedih. Kau yakin saja, pasti ada hikmah yang
bisa dipetik dari masalah ini.” Demikian
sebuah nasihat yang diberikan kepada orang yang sedang dirundung kesedihan
karena baru ditinggalkan kekasih, padahal dia sudah terlanjur berbadan dua
akibat hubungan di luar nikah. Kekasihnya berjanji akan bertanggung jawab, apa
pun resikonya. Namun ketika semua sudah terjadi, dia baru menyadari bahwa
dirinya belum siap untuk membina rumah tangga. Hebatnya syahwat, bisa
membutakan akal sehat manusia. Begitu syahwat dilampiaskan, kembalilah
kesadaran akal sehatnya.
Hal semacam ini sering kita saksikan di banyak kesempatan
di masyarakat. Sebagian orang berinisiatif menghibur saudaranya yang sedang
bersedih dan kebingungan karena terlanjur melakukan sebuah dosa. Sedang
merasakan sebagian kecil dari balasan Allah swt. Bagaimana kita memandang sikap
seperti ini?
Hikmah Saat Musibah
Takdir
adalah rahasia Allah swt. Tidak ada
selain-Nya yang mengetahui. Kadang Allah swt. menimpakan sebuah musibah berupa
kehilangan harta, ditinggal orang yang sangat dikasihi, kehilangan kesempatan
untuk mendapat apa yang selama ini diidam-idamkan, dan lain-lain yang sangat
berat bagi diri kita. Perlu diyakini, bahwa hal-hal seperti itu tidak selamanya
buruk bagi kita. Karena, sekali lagi, takdir Allah swt. adalah rahasia; hanya
Dia yang mengetahuinya.
Sangat mungkin hal yang kita nilai sebagai sebuah
musibah ternyata hanyalah sepotong episode yang hanya berlangsung beberapa
saat. Alur cerita dalam kehidupan kita selanjutnya ternyata menyimpan banyak
kejutan yang mungkin sangat membahagiakan. Tanpa ada sepotong tragedi yang
memilukan itu, kejutan-kejutan tersebut mustahil terjadi. Nabi Yusuf as.
dimusuhi saudaranya, dibuang, dilempar ke dalam sumur, dipungut dan dijual oleh
kafilah dagang, dijadikan budak, dituduh berbuat tidak senonoh, dan akhirnya
dipenjara. Tapi apa akhir semua itu? Menjadi pembesar di negeri Mesir sehingga
bisa menyelamatkan nikmat Allah swt., dan mendakwahkan agama Islam kepada
banyak orang.
Dari sinilah, kita hendaknya tidak bersedih dan bergundah
hati ketika ditimpa musibah. Kita tidak tahu apa yang disimpan di balik takdir
itu. Ridha, mencari-cari hikmah yang ada di baliknya, dan tetap berkeyakinan
baik kepada Allah swt. adalah cara yang bisa ditempuh demi mendapatkan
kebaikan. Keluh-kesah dan penyesalan tidak bisa merubah keadaan. Sebaliknya,
akan membuat hati semakin tersiksa; dan membuat murka Allah swt. karena kurang
beriman dengan takdir-Nya.
Tobat Saat Maksiat
Lalu bagaimana dengan maksiat? Setiap amal perbuatan
pasti akan dibalas. Baik di dunia maupun di akhirat. “Barang siapa yang mengerjakan
kebaikan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya. Dan barang
siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat
(balasan) nya pula.” [Az-Zalzalah:
7-8].
Oleh karena itu, orang yang berbuat maksiat pasti akan
merasakan hal yang sangat menyakitkan. Penyelasan, rasa malu, dijauhi rekan,
terkena penyakit, dan lain sebagainya. Lalu, benarkah dalam kondisi seperti ini
kita menghibur diri? Bahwa di balik semua kesulitan ini ada hikmahnya?
Ini bukanlah musibah. Musibah adalah takdir, yang tidak
bisa kita ketahui kenapa bisa menyambangi kita, dan akan ke mana membawa kita. Sedangkan
perasaan tersiksa setelah maksiat sudah jelas sebabnya. Yaitu Allah swt.
tidak ridha karena kita berbuat maksiat, lalu menyiksa kita. Sudah jelas, Allah
swt. melarang kita melakukan perbuatan itu, tapi masih kita lakukan. Kita
berbuat durhaka kepada Allah swt., dan Allah swt. murka kepada kita. Dari itu,
sudah jelas bagi kita bahwa kondisi ini adalah hal yang buruk. Bukan musibah
yang membawa kebaikan-kebaikan kepada kita.
Karena merupakan kondisi buruk, maka hal yang seharusnya
tumbuh dalam diri kita adalah perasaan sedih, menyesali diri, ingin membuangnya
jauh-jauh, merasa hina di hadapan Allah swt., takut kepada murka-Nya, dan
membulatkan tekad untuk memperbaiki diri dan tidak mendekati perbuatan maksiat
itu lagi. Semua ini adalah konskwensi tobat.
Tidak ada hikmah di balik maksiat. Maksiat adalah 100%
buruk. Karena maksiat adalah kedurhakan kepada Allah swt. yang sudah memberi
kita banyak sekali kebaikan. Akan mengandung hikmah jika maksiat itu membuat
kita bertobat, merendahkan hati, dan memperbaiki diri. Itulah hidayah.
Menyadari kesalahan, lalu berusaha sekuat daya untuk memperbaikinya sehingga
menjadi orang yang bertakwa. Ada seorang ulama mengatakan, “Jika Allah swt. menghendaki
kebaikan bagi seorang hamba-Nya, maka Dia akan menjatuhkannya kepada maksiat
yang membuatnya rendah hati.”
Maka bagaimana jadinya jika setelah berbuat maksiat, kita
malah menghibur diri dan membesarkan hati? Ini tidak lain adalah tipu daya
setan. Setelah berhasil menjauhkan kita dari Allah swt., dia tidak akan begitu
saja membiarkan kita kembali kepada Allah swt. Dia berusaha bagaimana orang
yang sudah jauh dari Allah swt., merasa nyaman dengan kondisinya. Di antaranya
dengan menghiasi perbuatan maksiatnya dengan hiasan hikmah. Dengan begitu,
perbuatan dosa pun tidak menakutkan, menyeramkan, dan menjijikkan lagi.
Kalau sudah demikian keadaannya, apa kita bisa
meninggalkan maksiat? Atau sebaliknya kita semakin asyik melakukannya,
menumpuk-numpuk dosa sehingga layak untuk menghuni neraka? Padahal semakin
tebal tumpukan dosa dalam hati semakin menyulitkan hidayah Allah swt. untuk
mendatanginya. Wallahu A’lam bish-shawab.(msa/dakwatuna)
No comments:
Post a Comment