Ustaz Abu Utsman Kharisman
Ayat-ayat tentang puasa dalam al-Quran
adalah surat
al-Baqarah dari ayat 183 hingga 187. Yang berikut ini akan disebutkan
penjelasan dari tiap-tiap ayat tersebut.
Ayat ke-183 surat
al-Baqarah, maksudnya.
“Wahai orang-orang yang beriman,
diwajibkan kepada kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang
sebelum kamu agar kamu bertakwa (Surah al-Baqarah : ayat 183).
Pada bahagian ini akan dijelaskan tentang:
1. Sikap terhadap seruan : Wahai orang-orang yang beriman….
2. Definisi puasa
3. Puasa telah diwajibkan pula pada umat sebelum kita
4. Tujuan puasa untuk mencapai ketakwaan
Penjelasan:
Sikap terhadap Seruan : “Wahai Orang-orang yang Beriman….”
Sahabat Nabi, Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu berkata, maksudnya:
“Jika engkau mendengar Allah berfirman:
Wahai orang-orang yang beriman, maka dengarlah baik-baik kerana padanya (pasti
terdapat) kebaikan yang diperintahkan atau keburukan yang akan dilarang.” (riwayat Ibnu Abi Hatim dalam
Tafsirnya dan Abu Nu’aim dalam Hilyatul Awliyaa’)
Setiap perintah dalam al-Quran pasti ada kebaikan, kemaslahatan, keberuntungan,
manfaat, keindahan, keberkatan. Sedangkan setiap larangan dalam al-Quran pasti
ada kerugian, kebinasaan, kehancuran, keburukan (disimpulkankan dari Tafsir
Ibnu Katsir (1/200)).
Definisi Puasa
Allah Ta’ala berfirman, maksudnya:
Telah diwajibkan kepada kalian as-Shiyaam
(puasa)...
Ayat ini merupakan dalil yang menunjukkan kewajiban puasa bagi orang-orang
beriman umat Nabi Muhammad shollallahu alaihi wasallam. Nanti dalam ayat-ayat
berikutnya akan dijelaskan bahawa kewajiban puasa itu tidak untuk seluruh
waktu, namun hanya pada hari-hari tertentu saja, iaitu pada bulan Ramadhan.
Puasa (dalam bahasa Arab disebut shiyaam atau shoum) memiliki definisi secara
bahasa dan definisi secara syar’i. Definisi puasa secara bahasa adalah ‘menahan
diri untuk tidak berbuat sesuatu’. Dalam al-Quran, ada ayat yang menunjukkan
penggunaan definisi puasa secara bahasa. iaitu, perintah Allah kepada Maryam
(ibunda Nabi Isa), maksudnya:
“…sesungguhnya aku bernazar puasa untuk
ar-Rahman (Allah) sehingga aku tidak akan berbicara pada hari ini dengan
manusia manapun.” (Surah Maryam : ayat 26)
Dalam ayat tersebut, Maryam bernazar untuk puasa, namun dalam definisi secara
bahasa, iaitu ‘menahan diri untuk tidak berbicara’.
Sedangkan definisi puasa secara syar’i adalah beribadah kepada Allah disertai
dengan niat dalam bentuk menahan diri dari segala hal yang membatalkan puasa
dari sejak terbit fajar shadiq hingga terbenamnya matahari (asy-Syarhul Mumti’
ala Zaadil Mustaqni’ (6/298)).
Puasa Telah Diwajibkan pula Pada Umat Sebelum Kita
Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfiman, maksudnya:
“…sebagaimana diwajibkan kepada umat
sebelum kalian…(Surah al-Baqoroh : ayat 183)
Dalam ayat tersebut juga dijelaskan bahwa puasa adalah amalan yang diwajibkan
tidak hanya bagi kaum muslimin umat Nabi Muhammad saja, namun juga pada umat
sebelum kita.
Tidak didapati dalam hadis yang sahih tentang bagaimana tata cara berpuasa umat
sebelum kita. Terdapat beberapa hadis, namun lemah. Seperti hadis Daghfal bin
Handzhalah diriwayatkan atThobarony dan lainnya yang menyebutkan bahwa awalnya
kaum Nashrani berpuasa Ramadhan, kemudian ada raja-raja mereka yang sakit dan
bernazar jika Allah beri kesembuhan, akan menambah jumlah hari puasanya.
Demikian berlangsung hingga kemudian jumlah hari puasa mereka menjadi 50 hari.
Namun hadis tersebut lemah kerana Daghfal bin Handzhalah bukanlah Sahabat Nabi
menurut Imam Ahmad dan al-Bukhari, sehingga hadits tersebut masuk kategori
mursal, terputus mata rantai periwayatannya.
Namun, pernyataan Allah bahwa puasa juga telah diwajibkan atas umat terdahulu
memberikan manfaat penting:
1. Penambah semangat bagi kaum mukminin umat Nabi Muhammad, membuat mereka
merasa ringan mengerjakan puasa. Kerana kewajiban puasa tidak hanya khusus bagi
mereka, namun juga umat sebelumnya. Sehingga umat Nabi Muhammad tidak akan
berkata: Sungguh berat puasa ini, hanya kami yang dibebani dengan kewajiban
ini.
2. Ibadah puasa adalah ibadah yang sangat dicintai oleh Allah. Karena itu,
Allah telah mensyariatkannya sejak dulu kala.
3. Pensyariatan puasa pada umat ini adalah yang terakhir kali, sebagai
penyempurna terhadap syariat-syariat sebelumnya.
Tujuan Utama Puasa untuk Mencapai
Ketakwaan
Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfiman, maksudnya:
“…agar kalian bertakwa.” (surah
al-Baqarah : ayat 183)
Ayat ini menunjukkan tujuan berpuasa adalah agar tercapai ketakwaan. Ibadah
puasa yang dikerjakan dengan sebenarnya akan menghantarkan seseorang pada
ketakwaan. Sedangkan ketakwaan adalah penghantar seseorang mendapatkan
kesuksesan/ keberhasilan yang hakiki
“… dan bertakwalah kepada Allah agar
kalian berjaya.” (Surah al-Baqarah : 189, Ali Imran : ayat 130, dan Ali Imran :
ayat 200).
Maka tujuan utama berpuasa adalah untuk mencapai ketakwaan. Sedangkan manfaat
lain yang akan dirasakan, seperti manfaat terhadap tubuh, atau manfaat bagi
kehidupan bermasyarakat, itu adalah tambahan (dipetik dari penjelasan Syaikh
Ibnu Utsaimin dalam tafsir surah al-Baqarah).
“(pada) hari-hari yang tertentu.
Barangsiapa yang sakit atau safar, maka mengganti di hari lain. Bagi orang yang
mampu, maka ia membayar fidyah memberi makan orang miskin. Barangsiapa yang
dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan (membayar kelebihan), maka itulah
yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”
(Surah al-Baqarah : ayat 184)
Penjelasan:
Jika Allah menyatakan dalam ayat sebelumnya bahwa diwajibkan berpuasa bagi
orang yang beriman, pada ayat ini dinyatakan bahwa pelaksanaan puasa yang
diwajibkan itu bukanlah pada semua hari sepanjang tahun. Namun, hanya pada
hari-hari yang ditentukan saja. Allah menyatakan: “(pada) hari-hari yang tertentu”.
Dalam ayat ini Allah juga menjelaskan bahwa tidak semua pihak mendapat
kewajiban berpuasa di hari-hari tertentu itu. Bagi yang sedang sakit sehingga
tidak mampu berpuasa atau sedang dalam perjalanan (musafir), dia boleh
menggantikannya pada hari lain selain hari yang diharamkan berpuasa.
Bagi orang yang mampu, maka ia membayar fidyah memberi makan orang miskin.
Barangsiapa yang membayar dengan kelebihan, maka itulah yang lebih baik
baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
Dulu, salah satu tahap kewajiban berpuasa, setiap muslim diberi pilihan.
Barangsiapa yang mahu dan boleh berpuasa atau seiapa yang tidak berpuasa, boleh
membayar fidyah. Jadi, dahulunya tidak semua muslim diwajibkan berpuasa.
Allah menyatakan dalam ayat ini, bahwa sesiapa yang mampu berpuasa namun tidak
memilih berpuasa, silakan membayar fidyah (memberi makan orang miskin). Namun,
jika ia memilih berpuasa, itu lebih baik.
Membayar fidyah (memberi makan) boleh dalam bentuk siap dimasak seperti yang
dilakukan oleh Anas bin Malik ketika sudah tua, dan boleh juga dalam bentuk
makanan mentah, ukurannya setengah sha’, seperti yang dinyatakan dalam hadis
Nabi dari Ka’ab bin Ujroh:
“…setiap orang miskin (diberi) setengah
sho’.” (H.R alBukhari
no 1688 pada bab al-Ith’aam fil fidyah nishfu sho’ dan Muslim no 2080)
Ukuran setengah sho’ adalah kadar lebih kurang lebih 1.5 kg (beras) per hari
tidak berpuasa. Membayar lebih banyak daripada jumlah yang ditetapkan itu
adalah lebih baik, sebagaimana dinyatakan Allah dalam ayat ini, maksudnya:
“Sesiapa yang membayar lebih, maka itu
adalah lebih baik baginya….”
Misalnya, setiap hari puasa yang ditinggalkan 1.5 kg, namun dengan ikhlas
seseorang itu memberi lebioh daripada jumlah tersebut - dia memberikan 3 kg per
hari puasa yang ditinggalkan, maka ia termasuk mendapatkan pujian yang
disebutkan dalam ayat ini.
Pensyariatan pembayaran fidyah masih terus berlaku bagi yang tidak mampu
berpuasa iaitu dalam keadaan berikut:
1. Tua, tidak mampu lagi berpuasa.
2. Sakit parah yang tidak mungkin sembuh
3. Hamil atau menyusui, jika bimbang keadaan janin atau bayinya.
Pendapat ini diriwayatkan daripada beberapa Sahabat Nabi seperti Ibnu Abbas dan
Ibnu Umar (lihat ad-Durrul Mantsur karya al-Imam as-Suyuthy)
http://www.salafy.or.id/
No comments:
Post a Comment