Oleh: Naia Athiyah - 24/12/13 | 00:15 | 19 Safar 1435 H
dakwatuna.com - Sang penulis merentangkan ilmunya melampaui batas-batas waktu dan
ruang. Ia tak dipupus masa dan usia, ia tak terhalang ruang dan jarak (Salim A. Fillah)
Guru
diharapkan selain mengajar di kelas juga mempunyai kemampuan menulis. Mengapa
harus menulis? Karena kita dapat mewariskan pengetahuan atau nilai-nilai lewat
tulisan. Itulah pentingnya budaya literasi ini dikuasai oleh seorang guru.
Kemampuan ini berkaitan erat dengan dunia pendidikan. Sebagai insan cendekia,
terpelajar, guru tentu memiliki pengalaman, pengetahuan serta waktu dan
kesempatan yang terbuka lebar. Dengan modal itu seorang guru dapat
mengembangkan kemampuannya untuk berkiprah dalam bidang kepenulisan.
Ali bin Abi
Thalib mengungkapkan bahwa ikatlah ilmu dengan menuliskannya. Guru menuliskan pengetahuan
yang menginspirasi tentu dapat dinikmati oleh banyak orang. Tidak dibatasi oleh
tembok-tembok kelas yang kaku. Tulisannya dapat dibaca oleh banyak orang kapan
dan di mana saja. Guru yang terbiasa memberikan informasi secara lisan,
kekekalannya hanya berlangsung hingga pertemuan di kelas selesai. Tetapi jika
dituliskan, meski tubuh segar kita telah hancur dilumat binatang kecil. Rata
dengan tanah. Ilmu yang manfaat itu akan melampaui usia kita. Jauh melewati
batas ruang dan waktu.
Kehebatan
menulis berbeda dengan bahasa lisan. Melalui tulisan seseorang dapat mengkritik
atau marah secara santun dan lebih terhormat. Dengan menulis seseorang dapat
memikirkan terlebih dahulu setiap kata yang dituliskan; berefek negatif atau
positif. Bermanfaat atau membawa mudharat.
Bangsa yang
besar dan maju tentu punya budaya membaca dan menulis yang baik pula. Seorang
guru sebagai pemegang peradaban bangsa. Baik tidaknya negeri ini ke depan salah
satu tumpuan besarnya terletak di pundak guru. Tentu akan sangat luar biasa
ketika dia mampu menginspirasi anak didiknya dalam menulis. Ada dokter yang menuliskan tentang pengalaman
di bidang medis. Ada
seorang arsitek, pilot, guru atau profesi apa pun melakukan hal yang sama.
Membagikan pengalaman atau cerita yang bermanfaat bagi orang lain.
Begitu banyak hal yang dapat kita torehkan dengan
menulis. Penulis juga saat ini adalah seorang guru yang terus belajar menempa
diri untuk menulis. Apa saja yang dirasa itu akan memberi nilai tambah. Menebar
manfaat. Bukan merasa diri sok bisa! Atau yang paling tahu! Sungguh,
bukan itu. Diri ini
juga masih sering digerogoti kemalasan. Berkubang dalam ketakpercayadirian. Bisa tidak ya? Ah, nanti tak ada yang membaca, nanti dikritik ini
itu! Sederet, seabrek alasan lain pun hadir mematahkan semangat
juang. Tak ada waktu luanglah, sibuklah. Walaaah kelamaan! Keburu idenya menguap. Keburu ide itu
basi dan akhirnya dituliskan orang lain.
Yakinlah, banyak mikir dan masih terus mencari alasan
adalah penghambat utama. Tak ada satu pun yang mampu dihasilkan. Jika sudah begini, ya tak jadi-jadi deh! Untuk jadi seorang penulis,
caranya hanya satu. Menulislah. Ya…hanya menulis. Tetap menulis. Ibarat sang
perenang, dia takkan pernah bisa berenang hanya dengan teori gaya katak
mengapung atau gaya katak mengamuk yang dia tahu tanpa praktik sama sekali. Sang
perenang akan mahir dengan terjun langsung ke air. Ya. Terjun. Begitu pula
dengan menulis. Keterampilan yang bisa dikuasai dengan banyak berlatih.
Kemalasan
semoga menjauh dari diri, hingga tak ada lagi alasan tidak bisa menulis.
Berharap dari setiap tulisan yang kita buat ada yang tergerak, ada yang
terilhami, ada inspirasi, ada manfaat, dan kebaikan. Untaian huruf demi huruf
menjadi kata, kata menjadi kalimat, dan kalimat menjadi paragraf. Semoga saja sekumpulan
paragraf dari jemari yang menari di atas keyboard ini
menjadi saksi kebaikan kelak di pengadilan-Nya. Meski usia para penulis
kebenaran itu pendek, tulisan melampaui usianya. Yuk, menulis!
No comments:
Post a Comment