Oleh: Adit Purana - 26/12/13 | 15:22 | 22 Safar 1435 H
dakwatuna.com - Suatu siang,
cuaca yang agak mendung, dan jam kuliah yang baru selesai. Jarum pendek pada
jam dinding menunjukkan pukul 11, sedangkan jarum panjangnya hampir berpapasan
dengan angka 2. Ada
jeda yang cukup untuk rehat, bermunajat kepada-Nya, dan mengisi perut, sebelum
tepat pukul 13.00 kami kembali punya kewajiban di kelas.
“Udah makan?”
“Belum.”
“Cari makan yuk, ah!”
“Hayu.”
Sambil menunggu adzan Zhuhur, saya bersama seorang teman
berjalan-jalan di sekitar kampus mencari jajanan ringan untuk mengganjal isi
perut. Karena warteg terdekat letaknya jauh dari gedung fakultas, kami pun
memilih untuk mencari jajanan yang cukup mengenyangkan tetapi praktis dan murah
meriah, seperti baso tahu atau batagor. Beberapa saat berkeliling, akhirnya
kami menemukan beberapa PKL yang berderet di pinggir area kampus. Saya memilih
baso tahu sebagai menu makan siang, sedangkan teman saya memilih batagor.
Sama-sama dibungkus, karena PKL tidak menyediakan kursi
untuk makan.
Sebuah tembok rendah samping selokan akhirnya menjadi
pilihan kami untuk menikmati makan siang. Makan siang ala siswa SD-SMP.
Memegang sebungkus plastik, ujungnya disobek, dan memakan isinya melalui
sobekan itu. Tidak lupa, di samping tempat kami duduk pun sudah disiapkan
sebotol air mineral.
Tidak butuh lama untuk menghabiskan makan. Hanya beberapa
menit. Sayang, tidak ada tong sampah di dekat tempat kami makan. Saya pun
akhirnya menyimpan sampah plastik bekas baso tahu dan air mineral, ditenteng
sampai nanti bertemu dengan tong sampah.
“Nggak dibuang?”
“Nggak, lagian mau buang ke mana?”
“Buang aja ke selokan.” Jawabnya.
Mendengar jawaban itu, rasanya seperti wajah ini menabrak
pintu. Terkejut, menyesakkan, sedih, kesal, sekaligus menyayangkan. Dia yang
saya kenal adalah sosok yang terbilang faqih untuk urusan agama, bagus bacaan
Qur’an-nya, aktif dan istiqamah di beberapa organisasi keislaman, pandai
berceramah dan beretorika, bahkan dipandang sebagai tokoh. Hafalan Qur’an-nya
pun adalah salah satu yang terbanyak di antara beberapa teman yang saya kenal.
Dalam pandangan saya sebagai seorang lelaki, dia jelas
sempurna bila melihat dari sisi ketokohan, pemahaman keislaman, dan
bacaan-hafalan Qur’an. Berbeda sekali dengan saya yang biasa-biasa dalam
pemahaman dan bacaan-hafalan Qur’an. Dari segi ketokohan, dia adalah ustadz,
sedangkan saya adalah tukang roti. Reaksi teman-teman kepadanya jelas berbeda
dengan reaksi mereka pada saya. Teman saya yang satu itu sangat dihormati,
bahkan karena cerdasnya, penjelasan dia selalu terkesan telak sehingga tidak
ada satu pun teman yang dapat membantah pemikirannya.
Mengingat profilnya sebagai ustadz, saya hanya
mengelus-ngelus dada sambil menghela nafas panjang. Saya tahu betul karakternya
saat dia menyampaikan pemikiran. Tidak mau dibantah, tidak mau kalah terhadap
bantahan. Jadi bila ada yang membantah, mengkritik, atau menyanggah, dia akan
segera menangkisnya dengan argumen atau dalil-dalil yang sekiranya relevan.
Ah, memang dari segi itulah lemahnya saya. Jelas kalah
dari segi pemahaman agama dan hafalan Qur’an-hadits. Saya pun bingung dalam
menentukan sikap. Sikap apa yang bijak? Bila saya menasihatinya, bisa jadi dia
akan membantah. Karena seringkali saya bertemu dengan orang-orang seperti,
mereka selalu defensif bila dinasihati. Seolah-olah harga dirinya turun, meski
dalam taushiyahnya mereka tak sungkan untuk bilang “…tawashaubil haq, wa tawashaubis shabr.”
Saya pribadi tak mau menghitung sudah berapa kali bertemu
dengan orang macam demikian di kampus, dan di masyarakat. Karena itu hanya akan
membuat saya semakin mengelus dada. Sungguh menyesakkan hati bila mendengar ada
yang curhat: “…dia itu ngerti agama, tetapi sikapnya menyakiti perasaan orang
lain.”
Ada saja orang-orang yang dipandang sebagai tokoh agama,
justru menampilkan akhlaq yang tidak sesuai dengan ajaran agamanya. Pada
profesi yang lain pun demikian adanya. Ada guru yang tidak mendidik, atau hakim
yang tidak adil. Bagian yang membuat saya sedih lebih adalah: mereka yang manis
dalam kata dan pahit dalam amal justru lebih banyak dan sering dihormati
ketimbang supir angkot yang menolong penumpang, tukang sampah yang berwakaf,
atau pedagang ayam yang dermawan.
Semoga kita tidak demikian adanya. Alangkah indah bila
kita manis dalam kata, juga manis dalam amal