Friday, December 27, 2013

Manis dalam Kata, Pahit dalam Amal

Oleh: Adit Purana - 26/12/13 | 15:22 | 22 Safar 1435 H


dakwatuna.com - Suatu siang, cuaca yang agak mendung, dan jam kuliah yang baru selesai. Jarum pendek pada jam dinding menunjukkan pukul 11, sedangkan jarum panjangnya hampir berpapasan dengan angka 2. Ada jeda yang cukup untuk rehat, bermunajat kepada-Nya, dan mengisi perut, sebelum tepat pukul 13.00 kami kembali punya kewajiban di kelas.

“Udah makan?”
“Belum.”
“Cari makan yuk, ah!”
“Hayu.”

Sambil menunggu adzan Zhuhur, saya bersama seorang teman berjalan-jalan di sekitar kampus mencari jajanan ringan untuk mengganjal isi perut. Karena warteg terdekat letaknya jauh dari gedung fakultas, kami pun memilih untuk mencari jajanan yang cukup mengenyangkan tetapi praktis dan murah meriah, seperti baso tahu atau batagor. Beberapa saat berkeliling, akhirnya kami menemukan beberapa PKL yang berderet di pinggir area kampus. Saya memilih baso tahu sebagai menu makan siang, sedangkan teman saya memilih batagor.
Sama-sama dibungkus, karena PKL tidak menyediakan kursi untuk makan.
Sebuah tembok rendah samping selokan akhirnya menjadi pilihan kami untuk menikmati makan siang. Makan siang ala siswa SD-SMP. Memegang sebungkus plastik, ujungnya disobek, dan memakan isinya melalui sobekan itu. Tidak lupa, di samping tempat kami duduk pun sudah disiapkan sebotol air mineral.

Tidak butuh lama untuk menghabiskan makan. Hanya beberapa menit. Sayang, tidak ada tong sampah di dekat tempat kami makan. Saya pun akhirnya menyimpan sampah plastik bekas baso tahu dan air mineral, ditenteng sampai nanti bertemu dengan tong sampah.
“Nggak dibuang?”
“Nggak, lagian mau buang ke mana?”
“Buang aja ke selokan.” Jawabnya.

Mendengar jawaban itu, rasanya seperti wajah ini menabrak pintu. Terkejut, menyesakkan, sedih, kesal, sekaligus menyayangkan. Dia yang saya kenal adalah sosok yang terbilang faqih untuk urusan agama, bagus bacaan Qur’an-nya, aktif dan istiqamah di beberapa organisasi keislaman, pandai berceramah dan beretorika, bahkan dipandang sebagai tokoh. Hafalan Qur’an-nya pun adalah salah satu yang terbanyak di antara beberapa teman yang saya kenal.

Dalam pandangan saya sebagai seorang lelaki, dia jelas sempurna bila melihat dari sisi ketokohan, pemahaman keislaman, dan bacaan-hafalan Qur’an. Berbeda sekali dengan saya yang biasa-biasa dalam pemahaman dan bacaan-hafalan Qur’an. Dari segi ketokohan, dia adalah ustadz, sedangkan saya adalah tukang roti. Reaksi teman-teman kepadanya jelas berbeda dengan reaksi mereka pada saya. Teman saya yang satu itu sangat dihormati, bahkan karena cerdasnya, penjelasan dia selalu terkesan telak sehingga tidak ada satu pun teman yang dapat membantah pemikirannya.

Mengingat profilnya sebagai ustadz, saya hanya mengelus-ngelus dada sambil menghela nafas panjang. Saya tahu betul karakternya saat dia menyampaikan pemikiran. Tidak mau dibantah, tidak mau kalah terhadap bantahan. Jadi bila ada yang membantah, mengkritik, atau menyanggah, dia akan segera menangkisnya dengan argumen atau dalil-dalil yang sekiranya relevan.

Ah, memang dari segi itulah lemahnya saya. Jelas kalah dari segi pemahaman agama dan hafalan Qur’an-hadits. Saya pun bingung dalam menentukan sikap. Sikap apa yang bijak? Bila saya menasihatinya, bisa jadi dia akan membantah. Karena seringkali saya bertemu dengan orang-orang seperti, mereka selalu defensif bila dinasihati. Seolah-olah harga dirinya turun, meski dalam taushiyahnya mereka tak sungkan untuk bilang “…tawashaubil haq, wa tawashaubis shabr.”

Saya pribadi tak mau menghitung sudah berapa kali bertemu dengan orang macam demikian di kampus, dan di masyarakat. Karena itu hanya akan membuat saya semakin mengelus dada. Sungguh menyesakkan hati bila mendengar ada yang curhat: “…dia itu ngerti agama, tetapi sikapnya menyakiti perasaan orang lain.”

Ada saja orang-orang yang dipandang sebagai tokoh agama, justru menampilkan akhlaq yang tidak sesuai dengan ajaran agamanya. Pada profesi yang lain pun demikian adanya. Ada guru yang tidak mendidik, atau hakim yang tidak adil. Bagian yang membuat saya sedih lebih adalah: mereka yang manis dalam kata dan pahit dalam amal justru lebih banyak dan sering dihormati ketimbang supir angkot yang menolong penumpang, tukang sampah yang berwakaf, atau pedagang ayam yang dermawan.

Semoga kita tidak demikian adanya. Alangkah indah bila kita manis dalam kata, juga manis dalam amal

SOLAT vs Ustaz / Sheikh / Tok Guru

 HTTP://WWW.QUEACHMAD.COM

by Que Achmad

1. Orang yang tak solat akan banyak masalah, tidak tenang, cepat marah susah nak terima kenyataan dan selalu nmpk salah orang lain.- USTAZ AZHAR IDRUS

2. Walaupun ayah kita penagih dadah sekalipun, bila dia suruh solat, kita sebagai anak WAJIB tunaikannya. - Ustaz Kazim Elias
3. Tidak solat punca utama penceraian dalam rumahtangga? "Jaga solat...Insyallah bahagia..." - Ustaz Don Daniyal
4. Selalulah Solat berjemaah walau payah macam mana pun, boleh jadi jemaah itu dapat menampung pahala berlipat ganda. - Datuk Ismail Kamus
5. Kalau kita sakit jangan takut untuk solat, atleast kalau mati, mati dalam solat 
- ustaz haslin baharin
6. Selepas solat jangan tergesa-gesa, baca Subhanallah 33, Alhamdulillah 33, Allahuakbar 33, doa kemudian baru bangun” - Al-Habib Ali Zainal
7. Kalau orang yang solat pun belum tentu masuk Syurga, apatah lagi orang yang meninggalkannya.-TG Syeikh Nuruddin Marbu Al-Banjari Al-Makki
8. Jagalah solat anda. Kerana solat itu adalah hubungan antara Allah dengan hambaNya" - Sheikh Abdullah Jahaf.
9. Menjaga solat boleh membersihkan dalaman kita. Puasa juga boleh membersihkan jiwa seseorang. -Ustaz Dasuki Rani
10. Jangan cakap: "Pergi solat. Kalau tak, masuk api neraka!" Tapi cakap: "Jom solat, Nanti kita masuk SYURGA ALLAH sama2 ya.InsyaAllah - TG Harun Din"
11. Kalau dalam solat tak dapat ingat Allah, mana mungkin luar solat mampu ingat Allah. -Ustaz Pahrol

I Need You because I Love You

Oleh Ustaz Pahrol Mohd Juoi
Amat besar bezanya antara ungkapan, “aku cinta kamu kerana memerlukan mu” dengan “aku perlukan kamu kerana aku mencintai mu.” Ungkapan kedua lebih murni dan suci sifatnya. Itulah cinta yang ikhlas.

Begitulah sewajarnya cinta kita kepada Allah. Kita mesti memerlukan Allah kerana kita memang mencintaiNya. Jangan kita mencintaiNya hanya pada ketika-ketika kita memerlukanNya.  Itu cinta yang palsu. Cinta yang berfokus pada kepentingan diri bukan kepada Allah,  zat yang mesti kita cintai.
Berapa ramai manusia yang ketika dilanda masalah, susah, gagal, terhimpit, sakit dan miskin, merayu dan merintih kepada Allah. Ketika susah dia memperkemaskan ibadah dan akhlaknya. Panjang doa dan solatnya. Namun sebaik sahaja masalahnya selesai, apa yang dihajati telah tercapai,  dia kembali lalai, kufur dan derhaka. Tuhan diperlukan hanya pada waktu-waktu terdesak sahaja. Apabila senang Tuhan kembali dipinggirkan dan dilupakan. Apakah ini yang dikatakan cinta?
Ibadah orang yang mencintai Allah hanya ketika sedang terdesak sangat rapuh. Apabila Allah memberi apa yang dipohonnya,  dia alpa. Sebaiknya, jika yang dimintanya tidak kunjung tiba dia jadi kecewa, marah dan putus asa. Mengapa Tuhan tidak memperkenankan doa ku? Mengapa setelah lama aku berbuat baik keadaan ku masih begini? Dia seakan mendesak, bahkan memaksa  dan mengugut Tuhan dalam ibadat dan munajatnya.  Luntur dan gugur segala sifat kehambaannya semasa meminta. Hakikatnya dia adalah peminta yang ego.

Allah berfirman: “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi bakhil. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir. (Al Ma’arij: 19-21). Jangan, jangan begitu. Ingatlah pesan Rasulullah SAW ini sewaktu senang, “Barang siapa yang ingin ditolong Allah saat tertimpa malapetaka dan kesempitan, maka perbanyakanlah berdoa di saat lapang (senang).” (HR Tirmidzi) . Ingatlah pesan Rasulullah SAW ini ketika susah, “”Ya Allah! Sungguh aku berlindung kepadaMu dari kesempitan dunia dan kesempitan hari kiamat.” (Abu Daud) ” Justeru, jika benar cintakan Allah, ingatlah Dia dalam senang dan susah.

Jangan samakan keperluan kita kepada Tuhan dengan ‘lampu Aladin’. Digosok dan didakap hanya apabila diperlukan.  Kita beribadah, bukan kerana-kerana yang lain tetapi semata-mata kerana mengharap wajah Allah. Kita mencinta Allah kerana kita memang mencintaiNya, bukan kerana mencintai diri kita. Lalu Allah akan sentiasa di hati kita, sewaktu senang dan susah, sewaktu sempit dan lapang, sewaktu di atas atau di bawah. Inilah cinta tanpa syarat.
Itulah cinta sejati. Cinta yang menafikan kepentingan dan keperluan diri demi yang dicintai. Mereka tidak sekali-kali tega untuk ‘menduakan’ cinta dengan selainnya. Tidak ada syirik dalam akidah dan ibadah, kerana  dalam hati mereka yang satu hanya ada cinta yang satu (Allah). Cinta orang mukmin hanya untuk Allah. Itu bukan cinta biasa, tetapi cinta luar biasa kerana terlalu cinta. Firman Allah:” Dan orang mukmin itu tersangat cinta kepada Allah.” (Al Baqarah 165).
Dalam hati itu mana mungkin ada riyak dan suma’ah? Puji dan keji manusia tidak menjejaskan hati.  Mereka bebas daripada kongkongan dunia luaran. Mereka bebas daripada belenggu ‘tuhan-tuhan kecil’ (kepentingan duniawi dan penghargaan manusia) untuk mengabdikan diri sepenuh dan seluruhnya kepada Allah.
Masalah manusia dari dahulu sehingga sekarang bukan kerana tidak ada Tuhan tetapi kerana terlalu banyak ‘Tuhan’. Terlalu banyak ‘Tuhan’  menyebabkan kita keliru dan buntu dalam hidup. Kita sukar membuat pilihan dan keputusan yang tepat dan cepat kerana terlalu banyak yang kita pertimbangkan. Sebaliknya, ikhlas itu bebas. Jika hati tulus, jalan hidup akan lurus. Hati tidak akan mudah terganggu oleh kerenah manusia. Itulah hati yang bahagia. Dalam hati itu sentiasa ada bisikan, “Ya Allah, aku memerlukan mu kerana aku mencintai mu!”
sumber : http://genta-rasa.com/2013/11/22/2695/#more-2695

Wednesday, December 25, 2013

SMART GOALS

If you ask most people what is their one major objective in life, they would probably give you a vague answer, such as, "I want to be successful, be happy, make a good living," and that is it. They are all wishes and none of them are clear goals.


Goals must be SMART:

1. S--specific. For example, "I want to lose weight." This is wishful thinking. It becomes a goal when I pin myself down to "I will lose 10 pounds in 90 days."

2. M--must be measurable. If we cannot measure it, we cannot accomplish it. Measurement is a way of monitoring our progress.

3. A--must be achievable. Achievable means that it should be out of reach enough to be challenging but it should not be out of sight, otherwise it becomes disheartening.

4. R--realistic. A person who wants to lose 50 pounds in~30 days is being unrealistic.

5. T--time-bound. There should be a starting date and a finishing date.

Please comment your opinion on this and add something yours...


Why are Goals Important? - Must read


On the best sunny day, the most powerful magnifying glass will not light paper if you keep moving the glass. But if you focus and hold it, the paper will light up. That is the power of concentration.
A man was traveling and stopped at an intersection. He asked an elderly man, "Where does this road take me?" The elderly person asked, "Where do you want to go?" The man replied, "I don't know." The elderly person said, "Then take any road. What difference does it make?"
How true. When we don't know where we are going, any road will take us there.
Suppose you have all the football eleven players, enthusiastically ready to play the game, all charged up, and then someone took the goal post away. What would happen to the game? There is nothing left. How do you keep score? How do you know you have arrived?

Enthusiasm without direction is like wildfire and leads to frustration. Goals give a sense of direction. Would you sit in a train or a plane without knowing where it was going? The obvious answer is no. Then why do people go through life without having any goals?

The Story of Blind Girl

by STEPHEN on SEPTEMBER 13, 2008 

There was a blind girl who hated herself just because she was blind. She hated everyone, except her loving boyfriend. He was always there for her. She said that if she could only see the world, she would marry her boyfriend.
One day, someone donated a pair of eyes to her a
nd then she could see everything, including her boyfriend. Her boyfriend asked her, “now that you can see the world, will you marry me?”
The girl was shocked when she saw that her boyfriend was blind too, and refused to marry him. Her boyfriend walked away in tears, and later wrote a letter to her saying:
“Just take care of my eyes dear.”

This is how human brain changes when the status changed. Only few remember what life was before, and who’s always been there even in the most painful situations.
Life Is A Gift
Today before you think of saying an unkind word–
think of someone who can’t speak.

Before you complain about the taste of your food–
think of someone who has nothing to eat.

Before you complain about your husband or wife–
think of someone who is crying out to God for a companion.

Today before you complain about life–
think of someone who went too early to heaven.

Before you complain about your children–
think of someone who desires children but they’re barren.

Before you argue about your dirty house, someone didn’t clean or sweep–
think of the people who are living in the streets.

Before whining about the distance you drive–
think of someone who walks the same distance with their feet.

And when you are tired and complain about your job–
think of the unemployed, the disabled and those who wished they had your job.

But before you think of pointing the finger or condemning another–
remember that not one of us are without sin and we all answer to one maker.

And when depressing thoughts seem to get you down–
put a smile on your face and thank God you’re alive and still around.
 Life is a gift – Live it, Enjoy it, Celebrate it, and Fulfill it.

Let go of your stress

by STEPHEN on FEBRUARY 27, 2013 · 

A psychologist walked around a room while teaching stress management to an audience. As she raised a glass of water, everyone expected they’d be asked the “half empty or half full” question. Instead, with a smile on her face, she inquired: ”How heavy is this glass of water?”
Answers called out ranged from 8 oz. to 20 oz.
She replied, “The absolute weight doesn’t matter. It depends on how long I hold it. If I hold it for a minute, it’s not a problem. If I hold it for an hour, I’ll have an ache in my arm. If I hold it for a day, my arm will feel numb and paralyzed. In each case, the weight of the glass doesn’t change, but the longer I hold it, the heavier it becomes.”
She continued, “The stresses and worries in life are like that glass of water. Think about them for a while and nothing happens. Think about them a bit longer and they begin to hurt. And if you think about them all day long, you will feel paralyzed – incapable of doing anything.”
It’s important to remember to let go of your stresses. As early in the evening as you can, put all your burdens down. Don’t carry them through the evening and into the night. Remember to put the glass down!
Author Unknown
Submitted by Tina


Prof Muhaya :Solusi keluar dari bebanan hidup

RAZIATUL HANUM A. RAJAK
24 Disember 2013
 / 1 

SHAH ALAM –Isu peningkatan kos hidup sering dikaitkan dengan bebanan kehidupan terutama buat golongan kurang mampu.

Malah ada yang menuding jari ke arah sesetengah pihak ekoran harga barang semakin mahal dan kesempitan hidup mencengkam kehidupan.

Namun, berbeza pula dengan penceramah terkenal, Prof Dr Muhaya Mohamad yang melihat perkara itu dari sudut positif.

Menurutnya, umum menanggap peningkatan kos hidup sebagai satu perkara negatif sehingga hasilnya kekal negatif tanpa ada sebarang perubahan.

“Saya simpati dengan keadaan kenaikan harga tetapi kena faham konsep dunia. Tidak ada situasi di mana harga akan turun. Memang harga akan naik. Bukan apa yang berlaku itu penting tetapi respons kita terhadap apa yang berlaku.

“Kalau kita guna formula kita ini, peristiwa yang berlaku campur dengan respons kita menghasilkan hasil kehidupan kita. Kalau peristiwa itu negatif, respons kita negatif,  hasilnya mesti negatif. Jadi, kita guna formula, peristiwa negatif iaitu barang naik, respons kita mesti sangat positif, maka hasilnya positif,” katanya kepada Sinar Harian Online.

Mengulas lanjut mengenai formula tersebut, beliau menyarankan agar orang ramai menggunakan kemahiran yang ada dengan lebih bermanfaat.

“Jangan kata kita tak mampu beli barang itu, kita tanya bagaimana untuk saya lebih mampu? Nilai berapa jam masa digunakan untuk benda yang produktif?

“Contoh sebelum ini kita tonton TV lima jam, apa yang kita dapat? Kalau wanita yang ada bakat, tingkatkan pendapatan melalui online, berniaga sambal tumis dan sebagainya. Orang lelaki mungkin boleh bekerja lebih,” katanya.

Jelasnya, corak berbelanja juga perlu diatur semula mengikut kesesuaian dan keutamaan.

“Saya rasa kita kena mengatur cara kita berbelanja. Bagi orang yang merokok, merokok itu memang membakar wang. Kenapa harus merokok juga?

“Bagi orang yang berbelanja pula, audit balik perbelanjaan kita. Air gas, ais krim semua itu tidak membina nutrisi kita, jadi, kalau tak boleh tingkatkan pendapatan, kita kurangkan perbelanjaan yang tidak penting,” katanya.

Katanya, keberkatan daripada wang yang diperoleh juga penting diberi penekanan.

“Ada dua jenis manusia. Satu, merungut dan mengeluh. Sibuk hidup dari luar ke dalam. Macam-macam alasan. Dia sibuk mencari faktor di luar daripada faktor dirinya sendiri.

“Manusia diberi duit berdasarkan nilai yang diberi kepada dunia. Kita gaji RM1,000 tetapi kerja macam RM800, tak berkat duit. Tapi kalau gaji RM1,000 kerja macam RM2,000, ALLAH akan beri keberkatan RM2,000 itu kepada kita. Ini undang-undang sunnatullah,” katanya.

Sebelum mengakhiri perbualan, beliau sempat menyampaikan pesanan buat orang ramai.

“Ingat ya, ALLAH sudah tetapkan rezeki, kita jangan sibuk dengan benda yang ALLAH dah jamin hingga terlupa tanggungjawab kita. Saya perhatikan, banyak orang yang cuai dengan tanggungjawab dan ketika itulah duit tak cukup, kereta rosak dan sebagainya.

“Jaga ALLAH, ALLAH urusan dunia kita. Kita kejar akhirat, dunia kejar kita. Itu konsep nak hilangkan tekanan. Kalau kita tak bersyukur, kita akan mengeluh, merungut. Kalau bersyukur, aura positif magnet kepada benda yang positif. Ini yang membuatkan kita tertekan,” katanya


Amanah bekerja bawa berkat
DR ASYRAF WAJDI DUSUKI



KITA sering merasakan tidak pernah cukup untuk menampung kehidupan diri dan keluarga. Kita juga mengeluh apabila gaji banyak mana pun tidak menjamin hidup selesa dan bahagia. Hakikatnya fenomena sebegitu amat terkait dengan perilaku sendiri dalam melaksanakan amanah dalam pekerjaan seharian. Memang masih ramai tidak segan silu melakukan perbuatan curang dalam pekerjaan seharian.

Mungkin kita tidak menyedari kerja dilakukan dengan penuh dedikasi tanpa unsur penyelewengan akan membawa berkat. Manakala, perlakuan curang dalam pekerjaan akan membawa padah. Curang dimaksudkan penulis adalah sikap tidak amanah seperti curi tulang, kerja sambil lewa, menipu kedatangan, buat kerja sampingan yang tidak memenuhi kontrak pekerjaan sebagaimana termeterai dengan majikan.

Walhal Islam memandang serius aspek amanah dalam mengotakan setiap apa yang dipersetujui majikan dan pekerja sebagaimana kontrak yang ditandatangani. Ini ditegaskan dalam firman ALLAH SWT: “Wahai Orang yang beriman! Patuhilah setiap perkara yang kalian akadkan (terma yang termaktub dalam kontrak)”. (Surah Al-Maidah: 1)

Dalam Islam, setiap kontrak seperti jadual masa kerja, skop dan tanggungjawab kerja ditandatangani antara dua pihak adalah wajib dipatuhi selagi mengikuti prinsip dan syariat. Implikasi kontrak dimeterai bukan sahaja terhadap hak sesama manusia, malah kesannya terkait langsung dengan hak ALLAH.

Hakikatnya, Islam melihat pekerjaan sebagai suatu yang cukup bernilai. Malah Islam menganggap ‘kasbu al-halal’ atau bekerja untuk memperoleh pendapatan yang halal adalah suatu jihad (maksud hadis). Oleh itu, Islam menganjurkan umatnya bekerja keras untuk kebaikan di akhirat dan kecemerlangan hidup di dunia.

Usaha setiap manusia untuk mencari nafkah halal bagi menyara diri, keluarga atau membantu kaum kerabat dan jiran tetangga pada hakikatnya diletakkan setaraf dengan kedudukan berjihad di jalan ALLAH. Itulah sebabnya ALLAH menerangkan konsep mencari nafkah yang halal dan berjihad ini dalam ayat yang sama.

“Dan sebahagian manusia berjalan di muka bumi mencari sebahagian daripada (rezeki) anugerah ALLAH. Sebahagian yang lain pula berperang di jalan ALLAH.” (Surah Al-Muzammil: 20)

Diriwayatkan Saidina Umar Al-Khattab berkata, “Keadaan yang paling aku sukai bila ajal menjemput ku adalah apabila aku sedang berjihad di jalan ALLAH. Kemudian keadaan di mana aku sedang mencari rezeki kurniaan ALLAH.” Kemudian beliau lantas membaca ayat di atas.
 
Rasulullah SAW sentiasa memperingatkan golongan sahabatnya dan umat Islam agar bekerja bersungguh-sungguh bagi mencari rezeki yang halal dan sah. Setiap pekerjaan baik merupakan ibadah yang bakal mendapat ganjaran dan maghfirah ALLAH. “Sesiapa yang bermalam dalam keadaan penat kerana mencari rezeki yang halal maka dia bermalam dalam keampunan (Tuhan)”. (Riwayat Ibnu Asakir daripada Anas).

Budaya kerja yang disemangati oleh nilai Islam diharapkan dapat menghindari perbuatan tidak baik dan tidak bermoral dalam pekerjaan.

 Kebelakangan ini, semakin meluasnya gaya hidup menyeleweng seperti terlalu memikirkan diri sendiri (individualistik) mahupun terlampau taksub hendak jadi kaya dengan jalan pintas (materialistik).

Hilangnya keberkatan bermakna manusia tidak lagi memperoleh kebahagiaan hakiki dan ketenangan dalam hidup yang dijanjikan ALLAH kepada orang Islam bertakwa dan bekerja dengan ikhlas mengikut ajaran dan prinsip Islam sejati.

Ini menyebabkan hidup kita dalam kesulitan, hubungan suami isteri berantakan, anak bermasalah dan rezeki yang diperoleh tidak pernah rasa cukup.

Sebaliknya rezeki yang berkat walaupun sedikit tetap cukup dan memenuhi keperluan hidup yang pelbagai. Menurut ulama, makna keberkatan sebagai “as-saadah al-haqiqiah” (kebahagiaan hakiki) dan “az-ziadah” (nilai tambah) dalam kehidupan. Ini tentunya dapat menceriakan diri dan memenuhi keperluan rumah tangga.

Itulah pentingnya mencari rezeki halal dengan berpegang teguh kepada segala peraturan, prinsip dan nilai sebagaimana digariskan Islam. Mudah-mudahan dengan bekerja bersungguh-sungguh mencari rezeki halal itu kita sentiasa berada dalam kebahagiaan dan ketenangan lantaran dilimpahi rahmat dan berkat ALLAH sentiasa.

*Yang Dipertua Yayasan Dakwah Islamiah Malaysia (Yadim)

Tuesday, December 24, 2013

Guruku, Menulislah!

Oleh: Naia Athiyah - 24/12/13 | 00:15 | 19 Safar 1435 H


dakwatuna.com - Sang penulis merentangkan ilmunya melampaui batas-batas waktu dan ruang. Ia tak dipupus masa dan usia, ia tak terhalang ruang dan jarak (Salim A. Fillah)


Guru diharapkan selain mengajar di kelas juga mempunyai kemampuan menulis. Mengapa harus menulis? Karena kita dapat mewariskan pengetahuan atau nilai-nilai lewat tulisan. Itulah pentingnya budaya literasi ini dikuasai oleh seorang guru. Kemampuan ini berkaitan erat dengan dunia pendidikan. Sebagai insan cendekia, terpelajar, guru tentu memiliki pengalaman, pengetahuan serta waktu dan kesempatan yang terbuka lebar. Dengan modal itu seorang guru dapat mengembangkan kemampuannya untuk berkiprah dalam bidang kepenulisan.

Ali bin Abi Thalib mengungkapkan bahwa ikatlah ilmu dengan menuliskannya. Guru menuliskan pengetahuan yang menginspirasi tentu dapat dinikmati oleh banyak orang. Tidak dibatasi oleh tembok-tembok kelas yang kaku. Tulisannya dapat dibaca oleh banyak orang kapan dan di mana saja. Guru yang terbiasa memberikan informasi secara lisan, kekekalannya hanya berlangsung hingga pertemuan di kelas selesai. Tetapi jika dituliskan, meski tubuh segar kita telah hancur dilumat binatang kecil. Rata dengan tanah. Ilmu yang manfaat itu akan melampaui usia kita. Jauh melewati batas ruang dan waktu.

Kehebatan menulis berbeda dengan bahasa lisan. Melalui tulisan seseorang dapat mengkritik atau marah secara santun dan lebih terhormat. Dengan menulis seseorang dapat memikirkan terlebih dahulu setiap kata yang dituliskan; berefek negatif atau positif. Bermanfaat atau membawa mudharat.

Bangsa yang besar dan maju tentu punya budaya membaca dan menulis yang baik pula. Seorang guru sebagai pemegang peradaban bangsa. Baik tidaknya negeri ini ke depan salah satu tumpuan besarnya terletak di pundak guru. Tentu akan sangat luar biasa ketika dia mampu menginspirasi anak didiknya dalam menulis. Ada dokter yang menuliskan tentang pengalaman di bidang medis. Ada seorang arsitek, pilot, guru atau profesi apa pun melakukan hal yang sama. Membagikan pengalaman atau cerita yang bermanfaat bagi orang lain.

Begitu banyak hal yang dapat kita torehkan dengan menulis. Penulis juga saat ini adalah seorang guru yang terus belajar menempa diri untuk menulis. Apa saja yang dirasa itu akan memberi nilai tambah. Menebar manfaat. Bukan merasa diri sok bisa! Atau yang paling tahu! Sungguh, bukan itu. Diri ini juga masih sering digerogoti kemalasan. Berkubang dalam ketakpercayadirian. Bisa tidak ya? Ah, nanti tak ada yang membaca, nanti dikritik ini itu! Sederet, seabrek alasan lain pun hadir mematahkan semangat juang. Tak ada waktu luanglah, sibuklah. Walaaah kelamaan! Keburu idenya menguap. Keburu ide itu basi dan akhirnya dituliskan orang lain.

Yakinlah, banyak mikir dan masih terus mencari alasan adalah penghambat utama. Tak ada satu pun yang mampu dihasilkan. Jika sudah begini, ya tak jadi-jadi deh! Untuk jadi seorang penulis, caranya hanya satu. Menulislah. Ya…hanya menulis. Tetap menulis. Ibarat sang perenang, dia takkan pernah bisa berenang hanya dengan teori gaya katak mengapung atau gaya katak mengamuk yang dia tahu tanpa praktik sama sekali. Sang perenang akan mahir dengan terjun langsung ke air. Ya. Terjun. Begitu pula dengan menulis. Keterampilan yang bisa dikuasai dengan banyak berlatih.

Kemalasan semoga menjauh dari diri, hingga tak ada lagi alasan tidak bisa menulis. Berharap dari setiap tulisan yang kita buat ada yang tergerak, ada yang terilhami, ada inspirasi, ada manfaat, dan kebaikan. Untaian huruf demi huruf menjadi kata, kata menjadi kalimat, dan kalimat menjadi paragraf. Semoga saja sekumpulan paragraf dari jemari yang menari di atas keyboard ini menjadi saksi kebaikan kelak di pengadilan-Nya. Meski usia para penulis kebenaran itu pendek, tulisan melampaui usianya. Yuk, menulis!

Sunday, December 22, 2013

Busy

by: Stephen Covey, 7 Habits of Highly Effective People

Once upon a time a very strong woodcutter ask for a job in a timber merchant, and he got it. The paid was really good and so were the work conditions. For that reason, the woodcutter was determined to do his best.

His boss gave him an axe and showed him the area where he was supposed to work.

The first day, the woodcutter brought 18 trees
"Congratulations," the boss said. "Go on that way!"

Very motivated for the boss’ words, the woodcutter try harder the next day, but he only could bring 15 trees. The third day he try even harder, but he only could bring 10 trees.Day after day he was bringing less and less trees.

"I must be losing my strength", the woodcutter thought. He went to the boss and apologized, saying that he could not understand what was going on.

"When was the last time you sharpened your axe?" the boss asked.

"Sharpen? I had no time to sharpen my axe. I have been very busy trying to cut trees..."

The Winner vs Loser

  by: Author Unknown, Source Unknown

The Winner is always part of the answer;
The Loser is always part of the problem.


The Winner is always has a program;
The Loser always has an excuse.


The Winner says,"Let me do it for you;
The Loser says;" That is not my job."


The Winner sees an answer for every problem;
The Loser sees a problem for every answer.


The Winner says," It may be difficult but it is possible";
The Loser says,"It may be possible but it is too difficult."


When a Winner makes a mistake, he says," I was wrong";
When a Loser makes a mistake, he says," It wasn't my fault."


A Winner makes commitments;
A Loser makes promises.


Winners have dreams;
Loser have schemes.


Winners say," I must do something";
Losers say,"Something must be done."


Winners are a part of the team;
Losers are apart from the team.


Winners see the gain;
Losers see the pain.


Winners see possibilities;
Losers see problems.


Winners believe in win/win; 
Losers believe for them to win someone has to lose.

Winners see the potential;
Losers see the past.


Winners are like a thermostat;
Losers are like thermometers.


Winners choose what they say;
Losers say what they choose.


Winners use hard arguments but soft words;
Losers use soft arguments but hard words.


Winners stand firm on values but compromise on petty things;
Losers stand firm on petty things but compromise on values.


Winners follow the philosophy of empathy: "Don't do to others what you
would, not want them to do to you";
Losers follow the philosophy, "Do it to others before they do it to you."


Winners make it happen;
Losers let it happen.


Mentafakuri Matahari

Oleh: Deddy Sussantho - 19/12/13 | 10:25 | 15 Safar 1435 H


 dakwatuna.com - 
“Demi matahari dan cahayanya di pagi hari,” (QS. asy-Syams: 1)

Tatkala Allah bersumpah atas nama makhluk-Nya, itu menandakan makhluk tersebut memiliki posisi yang amat penting dalam kehidupan. Pun begitu dengan matahari. Terbayangkah apa yang terjadi pada kehidupan ini bila tak ada matahari?

Maka, mari sejenak kita mentafakkuri (memikirkan) serta mentadabburi (merenungi) perihal matahari. Bukankah Allah ciptakan ia juga sebagai bahan pembelajaran bagi kita?

“Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami (nya),” (QS. an-Nahl: 12)
“Maka apakah (Allah) yang menciptakan itu sama dengan yang tidak dapat menciptakan (apa-apa)? Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran.” (QS. an-Nahl: 17)

Apa saja pelajaran yang bisa kita ambil dari matahari?

Pertama, matahari tahu kapan harus terbit dan kapan harus tenggelam. Proporsional. Tidak “show off”  berlebihan. Ini mengajarkan kepada kita untuk tahu diri, tidak serakah, tahu kapan harus bertindak di depan umum dan kapan harus diam di balik layar, tidak mengambil jatah kesempatan orang lain untuk berbuat.

Kedua, matahari punya kedisplinan yang tinggi. Ia tidak pernah terlambat terbit dan tenggelam. Jadualnya telah tertata rapi, tetap terjaga. Selain itu, ia beredar sesuai garis edarnya. Bisa dikatakan, matahari itu disiplin waktu dan dispilin tempat.
“Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya.” (QS. Yaasin: 40)

Dari sini kita bisa belajar kedispilinan dan menjaga waktu yang kita miliki. Tidak terlambat dan tidak menunda dalam hal apapun.

Di sisi lain, kita pun perlu berusaha untuk tetap berada di ‘garis edar’ kehidupan, yakni apa yang Allah firmankan dalam al-Qur’an dan apa yang Rasulullah Saw ajarkan dalam as-Sunnah. Terbayangkah apa jadinya bila tata surya ini keluar dari garis edarnya dan berevolusi seenaknya? Pasti hancur! Ya, seperti itu pula yang terjadi bila manusia hidup seenaknya dan keluar dari ‘garis edar’ yang telah Allah gariskan. Hancur!

Garis edar matahari juga mengajarkan kita untuk proporsional dalam menjalani kehidupan, tidak berlebih-lebihan (ekstrem kanan) dan tidak pula mudah menggampangkan atau menyepelekan (ekstrem kiri). Pertengahan saja. Seperti matahari, ia tidak terlalu jauh tapi tidak pula terlalu dekat dari bumi. Jaraknya tepat. Itulah yang membuatnya selalu menghangatkan. Maka jadilah pribadi pertengahan, yang tidak possesive tapi juga tidak teramat cuek.

Ketiga, kehadiran matahari itu memberikan manfaat yang besar. Keberadaannya membantu proses fotosintesis dedaunan, memungkinkan penguapan air pada siklus hujan, dan lain sebagainya. Seyogyanya begitu pula seharusnya kita, berbeda antara ada dan tiadanya. Adanya menjadi sumber manfaat bagi sekelilingnya, sehingga tatkala ia tidak ada, mereka merindukannya, seolah ada sesuatu yang hilang.

Keempat, matahari memberikan sinarnya tidak pandang bulu. Seluruh sisi bumi mendapatkan sentuhan hangatnya. Inilah makna keikhlasan. Memberi tanpa memandang yang diberi. Maka semoga kita pun demikian, memberikan kebermanfaatan secara luas.

Kelima, untuk dapat bersinar, matahari memiliki kandungan gas yang sangat besar. Gas tersebut terus terbakar hingga habis saat Kiamat tiba. Apa pelajarannya? Tentu agar kita bisa memberi manfaat yang besar, ‘kandungan kapasitas’ kita pun harus besar. Maka asahlah kemampuan kita. Perbanyak keilmuan dan wawasan kita. Dengan begitu, kita menjadi lebih ‘tajam’ dan lebih berguna daripada mereka yang ‘tumpul’.

Allahu a’lam…

Terakhir, mari kita berdoa,
“Allahumma nawwir quluubana binuuri hidayatika, kama nawwartal ardha binuuri syamsika abadan abada, birohmatika yaa arhamar raahimiin.”
(Ya Allah, pancarkanlah cahaya kepada hati kami dengan cahaya hidayahmu, sebagaimana Engkau cahayai bumi dengan mataharimu selama-lamanya, dengan kasih sayang-Mu, wahai Dzat Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.)
NB: Ditulis ketika matahari begitu ramah dan cerah.