Tuesday, December 24, 2013

Guruku, Menulislah!

Oleh: Naia Athiyah - 24/12/13 | 00:15 | 19 Safar 1435 H


dakwatuna.com - Sang penulis merentangkan ilmunya melampaui batas-batas waktu dan ruang. Ia tak dipupus masa dan usia, ia tak terhalang ruang dan jarak (Salim A. Fillah)


Guru diharapkan selain mengajar di kelas juga mempunyai kemampuan menulis. Mengapa harus menulis? Karena kita dapat mewariskan pengetahuan atau nilai-nilai lewat tulisan. Itulah pentingnya budaya literasi ini dikuasai oleh seorang guru. Kemampuan ini berkaitan erat dengan dunia pendidikan. Sebagai insan cendekia, terpelajar, guru tentu memiliki pengalaman, pengetahuan serta waktu dan kesempatan yang terbuka lebar. Dengan modal itu seorang guru dapat mengembangkan kemampuannya untuk berkiprah dalam bidang kepenulisan.

Ali bin Abi Thalib mengungkapkan bahwa ikatlah ilmu dengan menuliskannya. Guru menuliskan pengetahuan yang menginspirasi tentu dapat dinikmati oleh banyak orang. Tidak dibatasi oleh tembok-tembok kelas yang kaku. Tulisannya dapat dibaca oleh banyak orang kapan dan di mana saja. Guru yang terbiasa memberikan informasi secara lisan, kekekalannya hanya berlangsung hingga pertemuan di kelas selesai. Tetapi jika dituliskan, meski tubuh segar kita telah hancur dilumat binatang kecil. Rata dengan tanah. Ilmu yang manfaat itu akan melampaui usia kita. Jauh melewati batas ruang dan waktu.

Kehebatan menulis berbeda dengan bahasa lisan. Melalui tulisan seseorang dapat mengkritik atau marah secara santun dan lebih terhormat. Dengan menulis seseorang dapat memikirkan terlebih dahulu setiap kata yang dituliskan; berefek negatif atau positif. Bermanfaat atau membawa mudharat.

Bangsa yang besar dan maju tentu punya budaya membaca dan menulis yang baik pula. Seorang guru sebagai pemegang peradaban bangsa. Baik tidaknya negeri ini ke depan salah satu tumpuan besarnya terletak di pundak guru. Tentu akan sangat luar biasa ketika dia mampu menginspirasi anak didiknya dalam menulis. Ada dokter yang menuliskan tentang pengalaman di bidang medis. Ada seorang arsitek, pilot, guru atau profesi apa pun melakukan hal yang sama. Membagikan pengalaman atau cerita yang bermanfaat bagi orang lain.

Begitu banyak hal yang dapat kita torehkan dengan menulis. Penulis juga saat ini adalah seorang guru yang terus belajar menempa diri untuk menulis. Apa saja yang dirasa itu akan memberi nilai tambah. Menebar manfaat. Bukan merasa diri sok bisa! Atau yang paling tahu! Sungguh, bukan itu. Diri ini juga masih sering digerogoti kemalasan. Berkubang dalam ketakpercayadirian. Bisa tidak ya? Ah, nanti tak ada yang membaca, nanti dikritik ini itu! Sederet, seabrek alasan lain pun hadir mematahkan semangat juang. Tak ada waktu luanglah, sibuklah. Walaaah kelamaan! Keburu idenya menguap. Keburu ide itu basi dan akhirnya dituliskan orang lain.

Yakinlah, banyak mikir dan masih terus mencari alasan adalah penghambat utama. Tak ada satu pun yang mampu dihasilkan. Jika sudah begini, ya tak jadi-jadi deh! Untuk jadi seorang penulis, caranya hanya satu. Menulislah. Ya…hanya menulis. Tetap menulis. Ibarat sang perenang, dia takkan pernah bisa berenang hanya dengan teori gaya katak mengapung atau gaya katak mengamuk yang dia tahu tanpa praktik sama sekali. Sang perenang akan mahir dengan terjun langsung ke air. Ya. Terjun. Begitu pula dengan menulis. Keterampilan yang bisa dikuasai dengan banyak berlatih.

Kemalasan semoga menjauh dari diri, hingga tak ada lagi alasan tidak bisa menulis. Berharap dari setiap tulisan yang kita buat ada yang tergerak, ada yang terilhami, ada inspirasi, ada manfaat, dan kebaikan. Untaian huruf demi huruf menjadi kata, kata menjadi kalimat, dan kalimat menjadi paragraf. Semoga saja sekumpulan paragraf dari jemari yang menari di atas keyboard ini menjadi saksi kebaikan kelak di pengadilan-Nya. Meski usia para penulis kebenaran itu pendek, tulisan melampaui usianya. Yuk, menulis!

No comments:

Post a Comment