Redamkan Api dengan Kesejukan Air
Oleh: Sri Kusnaeni, S.TP. ME.I -
dakwatuna.com - Kejadian
marahnya seorang supir angkot, kembali telah mengingatkan saya, bahwa
kita tidak boleh egois, hanya berpikir untuk kebaikan diri sendiri.
Bagaimana dengan perasaan, kebutuhan dan harapan orang di sekitar kita,
harus menjadi salah satu hal yang kita perhatikan di dalam bersikap,
dalam berinteraksi, dalam berdakwah. Awalnya, karena terdorong oleh
semangat mencontoh Bilal bin Rabah, yang Rasul kabarkan bahwa terompah
(sandal) Bilal sudah masuk surga, meski orangnya masih hidup di dunia,
saya memang berusaha untuk selalu menjaga wudhu. Alhamdulillah kebiasaan
ini seperti sudah menjadi kebutuhan yang refleks dikerjakan.
Suatu
ketika, karena beberapa kali wudhu batal disebabkan ketika membayar
angkot, atau menerima uang kembalian dari supir, secara tidak sengaja,
selalu saja tangan sang supir mengenai tangan ini. Begitu juga ketika
ada kesempatan membawa mobil sendiri dan harus memberi uang receh untuk
“pa ogah di jalan” yang telah membantu kelancaran lalu lintas, atau
memberi untuk tukang parkir, seringkali juga terpaksa membuat wudhu ini
menjadi batal. Saya terus berpikir bagaimana caranya menghindari
penyebab batal wudhu tersebut. Ketika berkendara bersama anak saya yang
laki-laki, saya bisa menyiasati dengan cara meminta tolong kepada anak
saya (laki-laki) untuk memberi uang parkiran, uang pa ogah atau uang
ongkos angkot, dan wudhu saya aman terjaga. Untuk kesempatan lain tidak
berkendara bersama anak, saya menyiasati dengan menggulung uang secara
memanjang, agar ‘pa ogah’ bisa mengambil dengan mudah. Untuk cara yang
satu ini memang relatif agak butuh waktu, apalagi jika sedang diburu
waktu.
Suatu siang, karena sudah terlambat, dan dengan semangat
untuk terus bisa menjaga wudhu, ketika memberikan ongkos ke supir
angkot, saya menaruh uang tersebut di atas dashboard angkot, dan tidak
menyerahkannya ke tangan supir. Betapa kaget dan malunya, ternyata supir
angkot tersebut marah-marah, merasa dihinakan dan tidak dihargai.
Sebelum-sebelumnya beberapa kali saya melakukan hal yang demikian
terhadap supir lain, tidak pernah ada yang marah atau tersinggung. Itu
sebabnya saya merasa biasa-biasa saja melakukan pembayaran dengan cara
seperti itu. “Lebih baik nggak usah bayar, kalau caranya seperti ini”
kata-kata tersebut sempat keluar darinya, sampai akhirnya dia pun mau
memahami permintaan maaf saya. Saya sedih, dan menyesal, meski tak ada
niat menyepelekan orang lain, tetapi ternyata sikap saya telah menyakiti
orang lain. Berkali-kali istighfar, berkali-berkali merenung dan
berharap semoga Allah mengampuni kesalahan tidak sengaja ini.
Kejadian
tersebut, memberi banyak pelajaran. Pertama, bahwa meskipun kita
mempunyai tujuan yang baik/benar (dalam hal ini ingin tetap terjaga
wudhu), tapi kita tidak bisa serta merta mengabaikan cara-cara yang
ahsan dalam mencapai tujuan tersebut. Allah hanya akan menerima sesuatu
yang baik, perkataan yang baik perbuatan yang baik, cara yang baik, dan
tujuan yang baik. Semua kebaikan, yang ma’ruf, hakikatnya adalah menjadi
kebutuhan setiap insan. Innallaha katabl ihsan ‘ala kulli syain.
Pelajaran
kedua adalah bahwa kita berpotensi untuk melakukan kesalahan dan dosa,
meskipun tidak kita niatkan atau kita kita sengaja. Dari sudut inilah,
kita pahami, kenapa mestinya dalam satu hari, kita harus mengucapkan
istighfar minimal 70 kali (riwayat Bukhari) atau minimal 100 kali
(riwayat Muslim). Tentu kita juga paham bahwa meski Rasul tidak memiliki
dosa, karena beliau maksum, tapi beliau tetap beristighfar, sebagai
bentuk tasyakur bini’matillah, dengan memperbanyak ibadah dan dzikir
dalam setiap kesempatan.
Pelajaran ketiga, kita harus selalu
berusaha untuk memahami kondisi, karakter, kebiasaan, kesukaan dan
sifat-sifat orang lain yang ada di sekitar kita, agar kita bisa
berinteraksi dan bergaul secara baik dan pas dengan mereka, tanpa
menimbulkan ketersinggungan pada orang-orang di sekitar kita. Tidak bisa
dipungkiri, bahwa tiap pribadi punya keunikan, tiap suku punya budaya
dan kebiasaan yang berbeda. Semua ini harus kita pelajari, kita pahami,
kita perhatikan. Sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip
syar’i dan aqidah tauhid, berbagai keragaman adat dan budaya bisa kita
terima.
Pelajaran keempat, jangan mudah terpancing emosi dan
kemarahan orang lain. Bisa dibayangkan, jika misalnya dalam kasus di
atas, saya tanggapi kemarahan supir dengan kemarahan. Naudzubillahi min
dzalik. Orang bijak mengatakan, redamlah panasnya api, dengan siraman
kesejukan air. Api jangan disulut kembali dengan api. Api akan padam
dengan air. Kemarahan akan padam dengan senyuman dan permintaan maaf.
Semoga kita termasuk orang yang pandai belajar mengambil hikmah dari
setiap kejadian. Wallahu a’lam bishawwab.
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2013/02/28202/redamkan-api-dengan-kesejukan-air/#ixzz2M52W4b1b