Friday, December 2, 2011

Takabbur dan Sombong

Pengertian takabbur berarti sombong atau menampakkan keagungan pribadi. Dalam kitab Lisanul Arab, antara lain disebutkan bahwa at-takabbur wal istikbaar berarti 'atta'azzhum' (sombong). Firman Allah Ta'la menyebutkan pengertian tersebut antara lain, terdapat dalam surah al-A'araaf [7] ayat 146, yakni:
سَأَصْرِفُ عَنْ آيَاتِيَ الَّذِينَ يَتَكَبَّرُونَ فِي الأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ ...
"
Allah akan memalingkan orang-orang yagn menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar".

Maksudnya, orang-orang itu telah mengganggap bahwa dirinya merupakan makhluk yang paling mulia yang tidak dimiliki oleh orangn lain. Sedangkan menurut istilah, takabbur ialah sikap seorang aktivis yang terlalu membangga-banggakan diri (ujub) yang berakibat dirinya selalu menghina atau meremehkan diri dan pribadi orang lain serta tida pantas untuk menerima kebenaran dari mereka.
Rasulullah shallahu alaihi wassalam bersabda, "Tidak masuk surga barangsiapa yang di dalam hatinya terdapat kibr (sombong) sebesar biji zarrah".

Kemudian salah seorang sahabat bertanya, "Bagaimana jika ada seorang yang menyukai baju yang baik dan sandal yang bagus?".
Rasulullah shallahu alaihi wassalam menjawab, "Sesungguhnya Allah itu indah dan suka kepada yang indah".

Sedangkan takabbur dan izzah mempunyai perbedaan yang sangat mendasar sekali. Takabbur merupakan sikap sombong dalam kebathilan, sedangkan izzah merupakan sikap bangga dalam kebenaran. Atau dengan kata lain, takabbur adalah penolakan dan pengingkaran terhadap nikmat, sedangkan izzah adalah pengakuan terhadap nikmat, kemudian orang yang bersangkutan membicarakannya, sebagaimana yang telah disebutkan hadist diatas.

Faktor-Faktor Penyebab Takabbur

Karena sikap takabbur bararti sikap sangat ujub yang berdampak pada sikap menghina orang lain serta menganggap dirinya lebih tinggi dan unggul atau merasa lebih tinggi dibandingkan orang lain, maka pada dasarnya faktor-faktor penyebab dan pendorongnya hampir sama dengan sikap ujub dan ghurur. Mungkin yang berbeda hanya tingkat keparahan gradasinya saja. Berikut akan saya coba kemukakan tambahan-tambahannya saja.

Pertama, sikap tawadhu' yang berlebihan oleh orang lain.
Ada sebagian manusia yang bersikap berlebihan dalam hal tawadhu', sampai-sampai mereka mencoba menjalankan hidupnya dengan sangat sederhana atau terlalu bersahaja.

Misalnya, mencoba meninggalkan kepantasan dan kelaziman dalam berpakaian atau dalam hal makan dan minum. Padahal, mereka itu merupakan orang-orang yang berkecukupan. Contoh lain, mereka tidak ikut serta menyumbangkan pemikiran dan pendapat yang dimilikinya kepada orang lain, atau selalu berusaha menolak kepercayaan, tanggungjawab, serta amanah yang diberikan orang lain kepadanya. Padahal, dia memiliki kemampuan untuk melaksanakan semua itu.

Setan akan menggoda dan membisiki mereka bahwa sikap yang telah diambilnya itu merupakan bentuk keunggulannya yang tidak dimiliki oleh orang lain, atau orang yang hebat lagi mulia. Karena mampu bersikap tawadhu'. Selain itu, juga merendahkan mereka akan merendahkan dan menghina orang lain.

Faktor yang dapat mengeliminasi sikap takabbur ini telah diingatkan oleh Allah dalam al-Qur'an dan Sunnah, yaitu tatkala kita diharuskan untuk senantiasa menyebut-nyebut nikmat yang dianugerahi Allah Ta'ala. Firman-Nya:
وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ ﴿
١١﴾
"
Dan nikmat Tuhanmu, maka sebut-sebutlah". (QS. Adh-Dhuha [93] : 11)

Atau sabda Rasulullah shallahu alaihi wassalam, "Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan". (HR. Muslim)
"Dan jadikanlah kami termasuk orang-orang yang mensyukuri nikmat-Mu, yang memuji-Mu karenanya, yagn memperolehnya, dan yang telah disempurnakan nikmat itu kepada kami". (Hadist dari kitab Ibnu Katsir).

Malik bin Nadhlah al-Jasyaimi berkata, "Aku mendatangi Rasulullah dengan mengenakan baju yang buruk. Kemudian Rasulullah bersabda, 'Apakah engkau memiliki harta?' Aku menjawab, 'Punya, ya Rasulullah'. Rasulullah bertanya lagi, 'Harta apa yang engkau miliki?'. Aku menjawab, 'Allah telah menganugerahiku onta, kambing, kuda, dan budak'. Mendengar jawabanku itu Rasulullah bersabda, 'Jika engkau dianugerahi harta oleh Allah, maka perlihatkanlah bekas nikmat Allah itu, dan kemuliaan-Nya kepadamu'." (HR. Abu Dawud)

Para ulama salaf telah memahami benar makna hadist itu, sehingga mereka selalu menjalankannya dan menegur orang yang tidak menyadari. Hasan bi Ali ra pernah berkata, "Jika engkau memperoleh suatu kebaikan atau engkau mengerjakan suatu kebaikan, maka bicarakanlah hal itu kepada saudaramu yang engkau percayai".

Abu Bakar bin Abdillah al Muzni pernah pula berkata, "Barangsiapa yang diberi kebaikan (kekayaan) lalu tidak tampak pada dirinya, maka ia termasuk orang yang dibenci oleh Allah dan menentang nikmat Allah (yang telah diberikannya)". (Kitab al-Jaami' li ahkaamil Qur'an. Qurthubi, 20/102).

Wallahu a'lam.

1 comment: