Oleh: Muhammad Nuh
Hidup tak ubahnya seperti menelusuri jalan setapak yang becek di tepian sungai nan jernih. Kadang orang tak sadar kalau lumpur yang melekat di kaki, tangan, badan, dan mungkin kepala bisa dibersihkan dengan air sungai tersebut. Boleh jadi, kesadaran itu sengaja ditunda hingga tujuan tercapai.
Tak ada manusia yang bersih dari salah dan dosa. Selalu saja ada debu-debu lalai yang melekat. Sedemikian lembutnya, terlekatnya debu kerap berlarut-larut tanpa terasa. Di luar dugaan, debu sudah berubah menjadi kotoran pekat yang menutup hampir seluruh tubuh.
Itulah keadaan yang kerap melekat pada diri manusia. Diamnya seorang manusia saja bisa memunculkan salah dan dosa. Terlebih ketika peran sudah merambah banyak sisi: keluarga, masyarakat, tempat kerja, organisasi, dan pergaulan sesama teman. Setidaknya, akan ada gesekan atau kekeliruan yang mungkin teranggap kecil, tapi berdampak besar.
Belum lagi ketika kekeliruan tidak lagi bersinggungan secara horisontal atau sesama manusia. Melainkan sudah mulai menyentuh pada kebijakan dan keadilan Allah swt. Kekeliruan jenis ini mungkin saja tercetus tanpa sadar, terkesan ringan tanpa dosa; padahal punya delik besar di sisi Allah swt.
Rasulullah saw. pernah menyampaikan nasihat tersebut melalui Abu Hurairah r.a. “Segeralah melalukan amal saleh. Akan terjadi fitnah besar bagaikan gelap malam yang sangat gulita. Ketika itu, seorang beriman di pagi hari, tiba-tiba kafir di sore hari. Beriman di sore hari, tiba-tiba kafir di pagi hari. Mereka menukar agama karena sedikit keuntungan dunia.” (HR. Muslim)
Saatnyalah seseorang merenungi diri untuk senantiasa minta ampunan Allah swt. Menyadari bahwa siapa pun yang bernama manusia punya kelemahan, kekhilafan. Dan istighfar atau permohonan ampunan bukan sesuatu yang musiman dan jarang-jarang. Harus terbangun taubat yang sungguh-sungguh.
Secara bahasa, taubat berarti kembali. Kembali kepada kebenaran yang dilegalkan Allah swt. dan diajarkan Rasulullah saw. Taubat merupakan upaya seorang hamba menyesali dan meninggalkan perbuatan dosa yang pernah dilakukan selama ini.
Rasulullah saw. pernah ditanya seorang sahabat, “Apakah penyesalan itu taubat?” Rasulullah saw. menjawab, “Ya.” (HR. Ibnu Majah) Amr bin Ala pernah mengatakan, “Taubat nasuha adalah apabila kamu membenci perbuatan dosa sebagaimana kamu mencintainya.”
Taubat dari segala kesalahan tidak membuat seorang manusia terhina di hadapan Tuhannya. Justru, akan menambah kecintaan dan kedekatan seorang hamba dengan Tuhannya. Karena Allah sangat mencintai orang-orang yang bertaubat dan mensucikan diri. “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al-Baqarah: 222)
Taubat dalam Islam tidak mengenal perantara. Pintu taubat selalu terbuka luas tanpa penghalang dan batas. Allah selalu menbentangkan tangan-Nya bagi hamba-hamba-Nya yang ingin kembali kepada-Nya. Seperti terungkap dalam hadis riwayat Imam Muslim dari Abu musa Al-Asy`ari. “Sesungguhnya Allah membentangkan tangan-Nya di siang hari untuk menerima taubat orang yang berbuat kesalahan pada malam hari sampai matahari terbit dari barat.”
Karena itu, merugilah orang-orang yang berputus asa dari rahmat Allah dan membiarkan dirinya terus-menerus melampaui batas. Padahal, pintu taubat selalu terbuka. Dan sungguh, Allah akan mengampuni dosa-dosa semuanya karena Dialah yang Maha Pengampun lagi Penyayang.
Orang yang mengulur-ulur saatnya bertaubat tergolong sebagai Al-Musawwif. Orang model ini selalu mengatakan, “Besok saya akan taubat.” Ibnu Abas r.a. meriwayatkan, berkata Nabi saw. “Binasalah orang-orang yang melambat-lambatkan taubat (musawwifuun).” Dalam surat Al-Hujurat ayat 21, Allah swt. berfirman, “Dan barangsiapa yang tidak bertaubat, mereka itulah orang-orang yang zalim.“
Abu Bakar pernah mendengar ucapan Rasulullah saw., “Iblis berkata, aku hancurkan manusia dengan dosa-dosa dan dengan bermacam-macam perbuatan durhaka. Sementara mereka menghancurkan aku dengan Laa ilaaha illaahu dan istighfar. Tatkala aku mengetahui yang demikian itu aku hancurkan mereka dengan hawa nafsu, dan mereka mengira dirinya berpetunjuk.”
Namun, taubat seorang hamba Allah tidak cuma sekadar taubat. Bukan taubat kambuhan yang sangat bergantung pada cuaca hidup. Pagi taubat, sore maksiat. Sore taubat, pagi maksiat. Sedikit rezeki langsung taubat. Banyak rezeki kembali maksiat.
Taubat yang selayaknya dilakukan seorang hamba Allah yang ikhlas adalah dengan taubat yang tidak setengah-setengah. Benar-benar sebagai taubat nasuha, atau taubat yang sungguh-sungguh.
Karena itu, ada syarat buat taubat nasuha. Antara lain, segera meninggalkan dosa dan maksiat, menyesali dengan penuh kesadaran segala dosa dan maksiat yang telah dilakukan, bertekad untuk tidak akan mengulangi dosa.
Selain itu, para ulama menambahkan syarat lain. Selain bersih dari kebiasaan dosa, orang yang bertaubat mesti mengembalikan hak-hak orang yang pernah dizalimi. Ia juga bersegera menunaikan semua kewajiban-kewajibannya terhadap Allah swt. Bahkan, membersihkan segala lemak dan daging yang tumbuh di dalam dirinya dari barang yang haram dengan senantiasa melakukan ibadah dan mujahadah.
Hanya Alahlah yang tahu, apakah benar seseorang telah taubat dengan sungguh-sungguh. Manusia hanya bisa melihat dan merasakan dampak dari orang-orang yang taubat. Benarkah ia sudah meminta maaf, mengembalikan hak-hak orang yang pernah terzalimi, membangun kehidupan baru yang Islami, dan hal-hal baik lain. Atau, taubat hanya hiasan bibir yang terucap tanpa beban.
Hidup memang seperti menelusuri jalan setapak yang berlumpur dan licin. Segeralah mencuci kaki ketika kotoran mulai melekat. Agar risiko jatuh berpeluang kecil. Dan berhati-hatilah, karena tak selamanya jalan mendatar
No comments:
Post a Comment