dakwatuna.com - Sering kali kita mengucapkan subhanallah[1]tanpa menyadari kedalaman maknanya. Ia terucapkan secara spontanitas jika ada sesuatu yang mengagumkan, atau kejadian yang tidak sesuai dengan selera fitrah.
“Apakah ada di antara kalian yang pernah memikirkan rahasia سبحان الله yang diucapkan sebanyak 33 kali setelah mengerjakan shalat lima waktu?”
Dalam menjawab ini, saya mengajak pemerhati masalah-masalah keislaman untuk merenungi beberapa makna sebagai berikut:
Setiap hari manusia berpotensi melakukan sesuatu yang menyalahi kesucian zat yang Maha Suci. Potensi itu berawal dari pikiran; manusia dalam memikirkan apa yang akan dikerjakan hari ini, esok, dan masa mendatang, pikiran mereka berpeluang untuk ternodai dengan pikiran-pikiran kotor. Dengan menyebut سبحان الله pikiran menjadi segar, sehat, dan kembali kepada kesadaran semula.
Manusia di saat mulai melakukan apa yang telah direncanakan, maka ia pun berpeluang melakukan sesuatu yang tidak layak untuk dikerjakan. Satu perencanaan yang baik senantiasa diliputi keinginan-keinginan kotor yang senantiasa mengajak manusia kepada penyimpangan dengan seribu satu rayuan manis yang mengelabui. Dengan menyebut سبحان الله rel kehidupan terjaga untuk tidak menyimpang dari petunjuk Islam, terpatri dalam jiwa untuk melaksanakan setiap perencanaan baik, meskipun di sana ada jutaan rintangan yang menghalang.
Setelah menuai hasil kerja dan mulai memikirkan arah dan tempat dimana hasil tersebut disalurkan dan dinafkahkan, ia pun berpeluang ternodai keburukan. Dengan melantunkan سبحان الله berkah jerih upaya terjaga untuk tidak ternodai dengan segala bentuk kemaksiatan. Di sana masih banyak tempat untuk menyalurkan hasil kerja, seperti: keluarga, fakir-miskin, dan tempat-tempat ibadah. Olehnya itu, sangat wajar jika Islam bertanya kepada Anda dan berkata: “Apa yang membuat Anda berpikir terlalu jauh? Kenapa Anda menafkahkan harta di tempat-tempat kemaksiatan, sementara tempat kebaikan senantiasa menunggu Anda untuk dikunjungi dan disapa?”
Berkumpul dengan keluarga menikmati jerih payah adalah keinginan setiap kepala rumah tangga, tetapi kenikmatan tersebut kadang ternodai oleh kelalaian. Keinginan kuat menyantap hidangan yang lezat, minuman yang menyegarkan tenggorokan, menatap haru setiap wajah anggota keluarga yang memancarkan keridhaan dan kegirangan dari hasil kerja, semua itu dapat menjadi sarana setan yang membuat kita lupa menyebut basmalah dan hamdalah setiap kali mencicipi kenikmatan tersebut. Dengan lantunan سبحان الله setiap dari mereka sadar dari kelalaian, dan jamuan keluarga pun terjaga dari sentuhan jari jemari setan yang kotor.
Membaringkan badan di tempat peraduan bersama dengan istri dan anak-anak setelah seharian bekerja dambaan setiap bapak, tetapi dambaan tersebut kerap kali ternodai oleh kelalaian. Mereka berpeluang mendatangi keluarga dalam keadaan lupa membaca basmalah dan doa. Dengan سبحان الله keharmonisan keluarga terjaga dari segala bentuk campur tangan setan.
Setiap detik niat jelek berpeluang meracuni pikiran dan keyakinan. Olehnya itu, سبحان الله menjadi proteksi ampuh terhadap hati untuk tidak teracuni dari kebusukan tipu muslihat setan yang berupaya mengotori niat.
Di lain sisi, permukaan dunia senantiasa ternodai oleh kemaksiatan manusia, di sana ada pelanggaran hak asasi, penodaan harga diri, pencitraan yang lahir dari kebohongan belaka. Dengan سبحان الله seorang hamba telah menyucikan zat yang Maha Suci dari kemaksiatan tersebut, meski dia tidak tahu kapan dan dimana kemaksiatan tersebut terjadi. سبحان الله memberikan keyakinan kuat terhadap diri bahwa Allah berhak mendapatkan penyucian dari segala bentuk kotoran tersebut, meski Dia telah suci. Akan tetapi fitrah kehambaan menghendaki manusia melantunkan penyucian, karena mereka tidak tercipta untuk melakukan sesuatu yang menyalahi fitrah penciptaan dan nilai-nilai agama. سبحان الله kalimat penyucian yang dilantunkan semua entitas kehidupan guna menyucikan Allah SWT dari segala kekurangan yang datang dari mereka sendiri.
Mari kita melihat lebih dekat kedalaman makna سبحان الله di dalam Al-Qur’an:
Di peristiwa Isra’ dan Mi’raj, Al-Qur’an membuka pemberitaan peristiwa yang luar biasa itu dengan kata penyucian:
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjid Haram ke Masjid Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya.”(QS. al-Isra’ [17]: 1)
Jika Anda bertanya: “Kenapa pemberitaan peristiwa ini didahului dengan kata penyucian?”
Al-Qur’an menjawab:
“sebuah peristiwa besar pasti mengundang tanda tanya, khususnya jika kejadian itu hanya sekali terjadi sepanjang umur dunia, peristiwa yang punya keajaiban di luar dari perhitungan matematis. Sadar akan hal ini, Al-Qur’an memulai pemberitaan itu dengan penyucian, karena pada hari itu juga orang-orang kafir menolak kebenaran peristiwa ini, bahkan sampai pada hari ini masih ada dari mereka yang enggan mengikrarkan kebenarannya, telinga dan hati mereka terasa teriris sembilu jika mendengarkan sepatah kata dari cerita peristiwa tersebut.”
Dengan سبحان الله kita seperti para sahabat yang senantiasa menyucikan diri dari para pembangkang yang menolak kebenaran peristiwa agung ini. Apa lagi yang Anda tunggu untuk tidak melantunkan سبحان الله ?
Di kesempatan lain, Nabi Isa AS terlebih dahulu menyucikan Allah SWT sebelum menjawab pertanyaan ini:
“Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman: Wahai Isa putra Maryam! Apakah engkau yang mengatakan kepada manusia: “Jadikanlah aku dan ibuku Tuhan selain Allah?” Isa menjawab: “Maha Suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku. Jika aku pernah mengatakan, maka tentulah Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku, dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui segala perkara gaib.”” (QS. al-Maidah [5]: 116)
Jika ada yang bertanya: “jawaban Nabi Isa AS: “Maha Suci Engkau.” Kenapa dia tidak mengatakan: “Maha Suci aku dari pertanyaan itu,” sementara objek yang dipertanyakan adalah pemilik perkataan tersebut?”
Kepada penanya saya akan memberikan dua buah jawaban sebagaimana berikut:
Pertama: Tidak patut seorang hamba menyucikan diri, karena penyucian diri dengan tidak menyucikannya,[2] apalagi menyucikan diri di hadapan zat yang Maha Suci. Sadar akan hal itu, Nabi Isa AS langsung memberikan penyucian kepada Allah SWT sebelum ia menempatkan dirinya di tempat yang layak selaku hamba, sehingga jawabannya tidak menyalahi fitrah kehambaan.
Kedua: yang membutuhkan penyucian dari wacana distorsif ini: “Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman: Wahai Isa putra Maryam! Apakah engkau yang mengatakan kepada manusia: “Jadikanlah aku dan ibuku Tuhan selain Allah?” adalah Allah SWT, sehingga Nabi Isa AS dengan sendirinya mengucapkan سبحان الله, meski ia tahu bahwa pertanyaan Allah SWT tersebut bukan lahir dari ketidaktahuan terhadap siapa pemilik wacana ini, tetapi pertanyaan itu mengandung makna celaan dan cemooh terhadap siapa saja yang pernah mengucapkan kalimat tersebut.[3]
Tentunya, dengan mengucapkan subhanallah kita seperti Nabi Isa AS yang sedang menyucikan Allah SWT dari wacana distorsif tersebut. Apa lagi yang menyita perhatian Anda sehingga lupa menyebut سبحان الله ?
Di kejadian serupa, orang-orang beriman juga menyebut سبحان الله setelah melihat dan memikirkan keindahan dan kesempurnaan penciptaan alam semesta. Ini diberitakan dalam ayat Surah Ali Imran:
“Orang-orang yang mengingat Allah dalam keadaan berdiri, duduk, dan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia.” Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Ali Imran [3]: 191)
Al-Qur’an telah tahu bahwa akan datang sekelompok manusia yang melihat penciptaan alam semesta beserta isinya sia-sia belaka. Sementara itu, orang-orang beriman memberikan penilaian yang sama terhadap semua entitas kehidupan, karena apa yang ada pada diri seekor nyamuk, itu juga yang ada pada diri manusia. Semua melukiskan keindahan dan keagungan Sang Maha Pencipta. Olehnya itu, semua objek kehidupan mendapatkan penghargaan yang sama di mata mereka, karena semuanya adalah ayat-ayat Allah SWT.
Dengan menyebut سبحان الله kita seperti mereka yang telah menyucikan Allah SWT dari wacana kotor tersebut. Apa lagi yang memalingkan Anda untuk tidak ikut serta dengan mereka mengumandangkan سبحان الله ?
Di alam malaikat, mereka pun tidak ketinggalan menyucikan Allah SWT dari ketidakmampuan mereka menyebut nama benda-benda yang telah disebutkan Nabi Adam AS. Ini digambarkan dengan jelas di ayat surah al-Baqarah:
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam semua nama-nama benda secara keseluruhan, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat dan berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu tergolong orang-orang yang benar!” Mereka menjawab: “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”” (QS. al-Baqarah [2]: 31-31)
Al-Qur’an tahu bahwa akan datang sekelompok manusia yang menyombongkan ilmu pengetahuan mereka, sementara pengetahuan itu datang dari Sang Maha Mengetahui. Olehnya itu, tidak ada yang patut disombongkan. Bukankah dalam mengingat kebutuhan sehari-hari manusia kadang lupa? Jika Anda lupa, kenapa Anda tidak menyadari bahwa itu merupakan salah satu tanda kekurangan, jika Anda merasa tidak sempurna, kenapa Anda tidak menyadari bahwa di sana ada zat yang Maha Sempurna, Mengetahui segala sesuatu, sumber dari segala pengetahuan? Sementara itu, apa yang Anda tidak tahu, jumlahnya jauh lebih banyak dari apa yang Anda tahu sekarang.
Dengan menyebut سبحان الله kita seperti malaikat yang sedang menyucikan Allah SWT dengan mengembalikan semua pengetahuan kepada-Nya. Apalagi yang Anda tunggu untuk tidak mencontoh malaikat yang telah melakukan penyucian?
Makna penyucian Zat yang Maha Suci di kalimat سبحان الله tidak dibatasi ruang waktu. Ia memberi potensi yang cukup besar terhadap hamba untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT, karena dengan menyebutnya ia seperti menyucikan Allah SWT dari segala bentuk wacana distorsif di pelbagai waktu, baik yang telah lalu atau pun di masa mendatang. Apa lagi yang Anda tunggu untuk tidak mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan menyebut سبحان الله? سبحان الله ucapan para penghuni surga:
Maka dari itu, dzikir ini terlebih dahulu disebutkan sebelum menyebut dzikir lain. Seseorang menyalahi adab dzikir jika ia terlebih dahulu menyebut hamdalah, karena pujian datang setelah penyucian. Urutan ini sesuai dengan gaya pembahasan Al-Qur’an di pelbagai tempat, ia terlebih dahulu menyebutkan apa saja yang wajib dijauhi, karena di dalamnya ada unsur penyucian diri. Dan tentunya, jika yang haram telah dijauhi, maka dengan sendirinya apa yang wajib dipatuhi ikut terlaksana.
Di penghujung tulisan ini, saya mengajak para pemerhati tema-tema keislaman untuk merenungi apa yang tertera di bawah ini:
“سبحان الله kalimat yang singkat, tetapi kaya dengan makna. Penyucian Zat yang Maha Suci yang tidak terbatas oleh ruang waktu. Dengan menyebut سبحان الله Anda ibarat mereka yang telah dan sedang menyucikan Allah SWT di pelbagai tempat dan waktu dari wacana distorsif dan kemaksiatan tangan-tangan jahil. Dengan سبحان الله Anda seperti bersama dengan orang-orang shalih yang sedang berada di taman suci, yang terlindung dari polusi kejahatan dan kejahilan umat, di sana Anda dan yang lain mengetengahkan majelis dzikir yang menyuarakan سبحان الله sebagai pertanda kehambaan yang penuh dengan kekurangan. Olehnya itu dekatkan diri Anda dengan سبحان الله. Apa lagi yang Anda tunggu untuk tidak ikut serta melantunkan سبحان الله?”
Catatan Kaki:
[1] Syekh Abu Suûd al-Imâdî berkata: “سبحان menunjukkan tingkat penyucian yang sangat tinggi yang lahir dari perubahan-perubahan akar kata kalimat itu sendiri (morfologi). Ia datang dari kata as-Sabh (السَّبْحُ) yang berarti bepergian jauh, kemudian menjadi at-Tasbih (التَّسْبِيْحُ) yang berarti penyucian. Dan selanjutnya dari masdar tersebut (original noun) menjadi penamaan tersendiri terhadap pujian tertentu, yaitu سبحان, danسبحان itu sendiri berarti: Saya senantiasa menyucikan-Mu dengan penyucian yang layak terhadap kebesaran dan keagungan-Mu.” [Lihat: Syekh Abu as-Suûd al-Imâdî, Tafsir Abi as-Suûd, vol. 2, hlm. 343-344].
[2] Said Nursi, al-Maktubat, vol.2, hlm. 586
[3] Lihat: Syekh Abi as-Suûd al-Imâdî, Op. cit, vol. 2, hlm. 343
“Apakah ada di antara kalian yang pernah memikirkan rahasia سبحان الله yang diucapkan sebanyak 33 kali setelah mengerjakan shalat lima waktu?”
Dalam menjawab ini, saya mengajak pemerhati masalah-masalah keislaman untuk merenungi beberapa makna sebagai berikut:
Setiap hari manusia berpotensi melakukan sesuatu yang menyalahi kesucian zat yang Maha Suci. Potensi itu berawal dari pikiran; manusia dalam memikirkan apa yang akan dikerjakan hari ini, esok, dan masa mendatang, pikiran mereka berpeluang untuk ternodai dengan pikiran-pikiran kotor. Dengan menyebut سبحان الله pikiran menjadi segar, sehat, dan kembali kepada kesadaran semula.
Manusia di saat mulai melakukan apa yang telah direncanakan, maka ia pun berpeluang melakukan sesuatu yang tidak layak untuk dikerjakan. Satu perencanaan yang baik senantiasa diliputi keinginan-keinginan kotor yang senantiasa mengajak manusia kepada penyimpangan dengan seribu satu rayuan manis yang mengelabui. Dengan menyebut سبحان الله rel kehidupan terjaga untuk tidak menyimpang dari petunjuk Islam, terpatri dalam jiwa untuk melaksanakan setiap perencanaan baik, meskipun di sana ada jutaan rintangan yang menghalang.
Setelah menuai hasil kerja dan mulai memikirkan arah dan tempat dimana hasil tersebut disalurkan dan dinafkahkan, ia pun berpeluang ternodai keburukan. Dengan melantunkan سبحان الله berkah jerih upaya terjaga untuk tidak ternodai dengan segala bentuk kemaksiatan. Di sana masih banyak tempat untuk menyalurkan hasil kerja, seperti: keluarga, fakir-miskin, dan tempat-tempat ibadah. Olehnya itu, sangat wajar jika Islam bertanya kepada Anda dan berkata: “Apa yang membuat Anda berpikir terlalu jauh? Kenapa Anda menafkahkan harta di tempat-tempat kemaksiatan, sementara tempat kebaikan senantiasa menunggu Anda untuk dikunjungi dan disapa?”
Berkumpul dengan keluarga menikmati jerih payah adalah keinginan setiap kepala rumah tangga, tetapi kenikmatan tersebut kadang ternodai oleh kelalaian. Keinginan kuat menyantap hidangan yang lezat, minuman yang menyegarkan tenggorokan, menatap haru setiap wajah anggota keluarga yang memancarkan keridhaan dan kegirangan dari hasil kerja, semua itu dapat menjadi sarana setan yang membuat kita lupa menyebut basmalah dan hamdalah setiap kali mencicipi kenikmatan tersebut. Dengan lantunan سبحان الله setiap dari mereka sadar dari kelalaian, dan jamuan keluarga pun terjaga dari sentuhan jari jemari setan yang kotor.
Membaringkan badan di tempat peraduan bersama dengan istri dan anak-anak setelah seharian bekerja dambaan setiap bapak, tetapi dambaan tersebut kerap kali ternodai oleh kelalaian. Mereka berpeluang mendatangi keluarga dalam keadaan lupa membaca basmalah dan doa. Dengan سبحان الله keharmonisan keluarga terjaga dari segala bentuk campur tangan setan.
Setiap detik niat jelek berpeluang meracuni pikiran dan keyakinan. Olehnya itu, سبحان الله menjadi proteksi ampuh terhadap hati untuk tidak teracuni dari kebusukan tipu muslihat setan yang berupaya mengotori niat.
Di lain sisi, permukaan dunia senantiasa ternodai oleh kemaksiatan manusia, di sana ada pelanggaran hak asasi, penodaan harga diri, pencitraan yang lahir dari kebohongan belaka. Dengan سبحان الله seorang hamba telah menyucikan zat yang Maha Suci dari kemaksiatan tersebut, meski dia tidak tahu kapan dan dimana kemaksiatan tersebut terjadi. سبحان الله memberikan keyakinan kuat terhadap diri bahwa Allah berhak mendapatkan penyucian dari segala bentuk kotoran tersebut, meski Dia telah suci. Akan tetapi fitrah kehambaan menghendaki manusia melantunkan penyucian, karena mereka tidak tercipta untuk melakukan sesuatu yang menyalahi fitrah penciptaan dan nilai-nilai agama. سبحان الله kalimat penyucian yang dilantunkan semua entitas kehidupan guna menyucikan Allah SWT dari segala kekurangan yang datang dari mereka sendiri.
Mari kita melihat lebih dekat kedalaman makna سبحان الله di dalam Al-Qur’an:
Di peristiwa Isra’ dan Mi’raj, Al-Qur’an membuka pemberitaan peristiwa yang luar biasa itu dengan kata penyucian:
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjid Haram ke Masjid Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya.”(QS. al-Isra’ [17]: 1)
Jika Anda bertanya: “Kenapa pemberitaan peristiwa ini didahului dengan kata penyucian?”
Al-Qur’an menjawab:
“sebuah peristiwa besar pasti mengundang tanda tanya, khususnya jika kejadian itu hanya sekali terjadi sepanjang umur dunia, peristiwa yang punya keajaiban di luar dari perhitungan matematis. Sadar akan hal ini, Al-Qur’an memulai pemberitaan itu dengan penyucian, karena pada hari itu juga orang-orang kafir menolak kebenaran peristiwa ini, bahkan sampai pada hari ini masih ada dari mereka yang enggan mengikrarkan kebenarannya, telinga dan hati mereka terasa teriris sembilu jika mendengarkan sepatah kata dari cerita peristiwa tersebut.”
Dengan سبحان الله kita seperti para sahabat yang senantiasa menyucikan diri dari para pembangkang yang menolak kebenaran peristiwa agung ini. Apa lagi yang Anda tunggu untuk tidak melantunkan سبحان الله ?
Di kesempatan lain, Nabi Isa AS terlebih dahulu menyucikan Allah SWT sebelum menjawab pertanyaan ini:
“Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman: Wahai Isa putra Maryam! Apakah engkau yang mengatakan kepada manusia: “Jadikanlah aku dan ibuku Tuhan selain Allah?” Isa menjawab: “Maha Suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku. Jika aku pernah mengatakan, maka tentulah Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku, dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui segala perkara gaib.”” (QS. al-Maidah [5]: 116)
Jika ada yang bertanya: “jawaban Nabi Isa AS: “Maha Suci Engkau.” Kenapa dia tidak mengatakan: “Maha Suci aku dari pertanyaan itu,” sementara objek yang dipertanyakan adalah pemilik perkataan tersebut?”
Kepada penanya saya akan memberikan dua buah jawaban sebagaimana berikut:
Pertama: Tidak patut seorang hamba menyucikan diri, karena penyucian diri dengan tidak menyucikannya,[2] apalagi menyucikan diri di hadapan zat yang Maha Suci. Sadar akan hal itu, Nabi Isa AS langsung memberikan penyucian kepada Allah SWT sebelum ia menempatkan dirinya di tempat yang layak selaku hamba, sehingga jawabannya tidak menyalahi fitrah kehambaan.
Kedua: yang membutuhkan penyucian dari wacana distorsif ini: “Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman: Wahai Isa putra Maryam! Apakah engkau yang mengatakan kepada manusia: “Jadikanlah aku dan ibuku Tuhan selain Allah?” adalah Allah SWT, sehingga Nabi Isa AS dengan sendirinya mengucapkan سبحان الله, meski ia tahu bahwa pertanyaan Allah SWT tersebut bukan lahir dari ketidaktahuan terhadap siapa pemilik wacana ini, tetapi pertanyaan itu mengandung makna celaan dan cemooh terhadap siapa saja yang pernah mengucapkan kalimat tersebut.[3]
Tentunya, dengan mengucapkan subhanallah kita seperti Nabi Isa AS yang sedang menyucikan Allah SWT dari wacana distorsif tersebut. Apa lagi yang menyita perhatian Anda sehingga lupa menyebut سبحان الله ?
Di kejadian serupa, orang-orang beriman juga menyebut سبحان الله setelah melihat dan memikirkan keindahan dan kesempurnaan penciptaan alam semesta. Ini diberitakan dalam ayat Surah Ali Imran:
“Orang-orang yang mengingat Allah dalam keadaan berdiri, duduk, dan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia.” Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Ali Imran [3]: 191)
Al-Qur’an telah tahu bahwa akan datang sekelompok manusia yang melihat penciptaan alam semesta beserta isinya sia-sia belaka. Sementara itu, orang-orang beriman memberikan penilaian yang sama terhadap semua entitas kehidupan, karena apa yang ada pada diri seekor nyamuk, itu juga yang ada pada diri manusia. Semua melukiskan keindahan dan keagungan Sang Maha Pencipta. Olehnya itu, semua objek kehidupan mendapatkan penghargaan yang sama di mata mereka, karena semuanya adalah ayat-ayat Allah SWT.
Dengan menyebut سبحان الله kita seperti mereka yang telah menyucikan Allah SWT dari wacana kotor tersebut. Apa lagi yang memalingkan Anda untuk tidak ikut serta dengan mereka mengumandangkan سبحان الله ?
Di alam malaikat, mereka pun tidak ketinggalan menyucikan Allah SWT dari ketidakmampuan mereka menyebut nama benda-benda yang telah disebutkan Nabi Adam AS. Ini digambarkan dengan jelas di ayat surah al-Baqarah:
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam semua nama-nama benda secara keseluruhan, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat dan berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu tergolong orang-orang yang benar!” Mereka menjawab: “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”” (QS. al-Baqarah [2]: 31-31)
Al-Qur’an tahu bahwa akan datang sekelompok manusia yang menyombongkan ilmu pengetahuan mereka, sementara pengetahuan itu datang dari Sang Maha Mengetahui. Olehnya itu, tidak ada yang patut disombongkan. Bukankah dalam mengingat kebutuhan sehari-hari manusia kadang lupa? Jika Anda lupa, kenapa Anda tidak menyadari bahwa itu merupakan salah satu tanda kekurangan, jika Anda merasa tidak sempurna, kenapa Anda tidak menyadari bahwa di sana ada zat yang Maha Sempurna, Mengetahui segala sesuatu, sumber dari segala pengetahuan? Sementara itu, apa yang Anda tidak tahu, jumlahnya jauh lebih banyak dari apa yang Anda tahu sekarang.
Dengan menyebut سبحان الله kita seperti malaikat yang sedang menyucikan Allah SWT dengan mengembalikan semua pengetahuan kepada-Nya. Apalagi yang Anda tunggu untuk tidak mencontoh malaikat yang telah melakukan penyucian?
Makna penyucian Zat yang Maha Suci di kalimat سبحان الله tidak dibatasi ruang waktu. Ia memberi potensi yang cukup besar terhadap hamba untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT, karena dengan menyebutnya ia seperti menyucikan Allah SWT dari segala bentuk wacana distorsif di pelbagai waktu, baik yang telah lalu atau pun di masa mendatang. Apa lagi yang Anda tunggu untuk tidak mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan menyebut سبحان الله? سبحان الله ucapan para penghuni surga:
دَعْوَاهُمْ فِيهَا سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَتَحِيَّتُهُمْ فِيهَا سَلَامٌ ۚ وَآخِرُ دَعْوَاهُمْ أَنِ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ ﴿١٠﴾
“Doa mereka di dalamnya adalah: “Subhanakallahumma,” dan salam penghormatan mereka adalah: “Salam”, dan penutup doa mereka adalah: “Alhamdulilaahi Rabbil Alamin”” (QS. Yunus [10]: 10)Maka dari itu, dzikir ini terlebih dahulu disebutkan sebelum menyebut dzikir lain. Seseorang menyalahi adab dzikir jika ia terlebih dahulu menyebut hamdalah, karena pujian datang setelah penyucian. Urutan ini sesuai dengan gaya pembahasan Al-Qur’an di pelbagai tempat, ia terlebih dahulu menyebutkan apa saja yang wajib dijauhi, karena di dalamnya ada unsur penyucian diri. Dan tentunya, jika yang haram telah dijauhi, maka dengan sendirinya apa yang wajib dipatuhi ikut terlaksana.
Di penghujung tulisan ini, saya mengajak para pemerhati tema-tema keislaman untuk merenungi apa yang tertera di bawah ini:
“سبحان الله kalimat yang singkat, tetapi kaya dengan makna. Penyucian Zat yang Maha Suci yang tidak terbatas oleh ruang waktu. Dengan menyebut سبحان الله Anda ibarat mereka yang telah dan sedang menyucikan Allah SWT di pelbagai tempat dan waktu dari wacana distorsif dan kemaksiatan tangan-tangan jahil. Dengan سبحان الله Anda seperti bersama dengan orang-orang shalih yang sedang berada di taman suci, yang terlindung dari polusi kejahatan dan kejahilan umat, di sana Anda dan yang lain mengetengahkan majelis dzikir yang menyuarakan سبحان الله sebagai pertanda kehambaan yang penuh dengan kekurangan. Olehnya itu dekatkan diri Anda dengan سبحان الله. Apa lagi yang Anda tunggu untuk tidak ikut serta melantunkan سبحان الله?”
Catatan Kaki:
[1] Syekh Abu Suûd al-Imâdî berkata: “سبحان menunjukkan tingkat penyucian yang sangat tinggi yang lahir dari perubahan-perubahan akar kata kalimat itu sendiri (morfologi). Ia datang dari kata as-Sabh (السَّبْحُ) yang berarti bepergian jauh, kemudian menjadi at-Tasbih (التَّسْبِيْحُ) yang berarti penyucian. Dan selanjutnya dari masdar tersebut (original noun) menjadi penamaan tersendiri terhadap pujian tertentu, yaitu سبحان, danسبحان itu sendiri berarti: Saya senantiasa menyucikan-Mu dengan penyucian yang layak terhadap kebesaran dan keagungan-Mu.” [Lihat: Syekh Abu as-Suûd al-Imâdî, Tafsir Abi as-Suûd, vol. 2, hlm. 343-344].
[2] Said Nursi, al-Maktubat, vol.2, hlm. 586
[3] Lihat: Syekh Abi as-Suûd al-Imâdî, Op. cit, vol. 2, hlm. 343
No comments:
Post a Comment