Wednesday, September 14, 2011

Surat Harap untuk Pemimpin Rakyat

)

14/9/2011 | 15 Syawal 1432 H | Hits: 60
Oleh: Syaefudin
 
0diggsdigg
email
dakwatuna.com - Duhai pemimpin, bagaimana kabarmu?
Saya akui, memimpin bukanlah tugas yang ringan. Hanya orang-orang yang terbaik dan terpilih lah yang sanggup mengemban. Pikiran, tubuh, hingga seluruh apa yang kau punya sepertinya akan terkerahkan pada apa yang engkau jadi pemimpinnya. Kini, engkau bukanlah milik dirimu; bukan pula keluargamu. Sekarang, engkau milik yang menjadi rakyatmu.

Namun demikian, izinkan setetes air dalam lautan rakyatmu ini bercerita tentang pikirannya hari-hari ini.

Pemimpinku,
Tadi, saya melihat sebuah keluarga. Tak tahu persis usia yang pria, tapi sang istri sudah berusia tujuh puluh lima. Keduanya renta, ditemani anak perempuan dan satu cucunya. Tak punya rumah, harta lebih, apalagi sawah. Tempat tinggal mereka adalah belas kasihan warga; bukan hak milik keduanya yang sudah menua.

Tahukah?

Sang kakek bekerja sebagai penjual harum manis, semacam makanan serabut asal gula. Usai jualan, ia berubah profesi jadi kais alias supir kuda. Seharian ia mencari nafkah; untuk cucu, anak, serta istri yang sudah lama kakinya bermasalah.
Istri tercintanya, panggil saja nenek, meski sakit di kaki yang tak tertahankan tetap saja setia membantu pangeran tercinta. Nenek tak mampu berobat, biasa alasan biaya. Ia membuat kerupuk dan menitipkan penjualannya ke tetangga.

Boleh jadi, mereka adalah pasangan serasi dalam mengarungi samudera kehidupan. Tapi, bukan ini yang saya mau jadikan titik pengungkapan. Sejatinya, pada surat ini saya menyampaikan keadaan yang ada di sekitar. Tentang siapa yang menjadi rakyat.

Pemimpinku,

Sebagaimana biasa terucap oleh seorang pemimpin, peningkatan kesejahteraan lah yang dijanjikan. Tak salah, bahkan itu tujuan engkau dipilih menjadi yang dihormati di antara kami. Oleh karenanya, sekedar mengingatkan kembali tujuan engkau memimpin; ternyata masih ada saudara kita yang kekurangan.

Bukankah kita pernah mendengar kisah seorang khalifah, Umar Ibn Khaththab? Ya, cerita yang bukan sekedar isapan jempol belaka. Umar Ibn Khaththab setiap malam meronda, berkeliling di wilayahnya untuk menyelidiki kalau-kalau ada yang kelaparan atau membutuhkan pertolongan.

Salah satu contoh perilaku kepemimpinan ini adalah ketika Khalifah Umar bertemu dengan seorang Badui yang tengah gelisah di depan sebuah kemah di Madinah. Dari dalam kemah terdengar rintihan seorang wanita. Pertanyaan dan desakan Umar akhirnya membuka mulut Badui untuk berkata sesungguhnya, bahwa di dalam kemah ada seorang yang akan melahirkan tapi tiada satu pun yang bisa menolong.

Amirul mukminin ini bergegas meninggalkan Badui dan pulang ke rumah menemui Ummu Kultsum, sang istri tercinta. Beliau berkata, ”Apakah kamu ingin mendapat pahala yang Allah akan limpahkan kepadamu?” Ummu Kultsum menjawab dengan antusias, “Apa wujud kebaikan dan pahala tersebut wahai Umar?” Setelah menjelaskan kondisi keluarga Badui yang baru ditemuinya, Umar mengajak Ummu Kultsum untuk membantu persalinan wanita istri Badui tersebut. Perempuan mulia itu bergegas menyiapkan peralatan untuk persalinan bayi sedangkan Umar memanggul gandum serta membawa minyak samin.
Pemimpinku,

Engkau juga mungkin sudah mengetahui cerita tentang Umar Ibn Abdul Aziz. Keturunan Umar Ibn Khaththab ini juga seorang pemimpin rakyat yang patut kita contoh. Semasa menjabat sebagai khalifah, pemimpin yang dikenal karena keadilan serta wibawanya itu pernah disediakan makanan oleh Istrinya; sepotong roti hangat.

Sebelum memakan, sang Khalifah bertanya dengan nada keheranan pada Istrinya: “Wahai Istriku dari mana kau memperoleh roti yang harum dan tampak lezat ini”? Istrinya menjawab, “Ya Amirul Mukminin, itu buatanku sendiri. Aku sengaja membuatkan ini hanya untuk menyenangkan hatimu yang setiap hari selalu sibuk dengan urusan negara dan rakyat”.

Lantas, khalifah pun bertanya lagi “Berapa uang yang kamu perlukan untuk membuat roti seperti ini”. “Hanya tiga setengah dirham saja , kenapa memangnya?” jawab sang istri.
“Aku perlu tahu asal usul makanan dan minuman yang akan masuk ke dalam perutku ini, agar aku bisa mempertanggungjawabkannya di hadapan Allah SWT nanti” jawab Khalifah, seraya bertanya lagi “Terus uang yang 3,5 dirham itu kau dapatkan dari mana”?
“Uang itu saya dapatkan dari hasil penyisihan setengah dirham tiap hari dari uang belanja harian rumah tangga kita yang selalu kau berikan kepadaku, jadi dalam seminggu terkumpullah 3.5 dirham dan itu cukup untuk membuat roti seperti ini yang halal dan sehat,” jawab istrinya.
“Baiklah kalau begitu. Saya percaya bahwa asal usul roti ini halal dan bersih. Berarti kebutuhan biaya harian rumah tangga kita harus dikurangi setengah dirham, agar tak mendapat kelebihan yang membuat kita mampu memakan roti yang lezat atas tanggungan umat”.

Kemudian Khalifah memanggil Bendahara Baitulmal (Kas Negara) dan meminta agar uang belanja harian untuk rumah tangga Khalifah dikurangi setengah dirham. Dan Khalifah berkata kepada istrinya, “saya akan berusaha mengganti harga roti ini agar hati dan perut saya tenang dari gangguan perasaan, karena telah memakan harta umat demi kepentingan pribadi. “

Pemimpinku,

Boleh jadi engkau adalah seorang yang tidak mau dibanding-bandingkan dengan orang lain. Ya, tak berbeda denganku. Oleh karenanya, kisah tadi sebenarnya lebih merupakan harapan kami terhadap pemimpin di negeri ini.

Rakyat di negeri ini berharap, pemimpin lebih dekat dengan rakyat. Yang mau melihat ratap dan papa kami, mendengar keluh dan pesan kami. Tentu, kami tak bermaksud meminta engkau meronda malam hingga pagi. Cukup, beberapa kali kami dikunjungi. Kami khawatir, pembisik di sekitarmu yang juga tahu dengan jabatannya itu terlalu ingin terlihat ideal di matamu sehingga belum mampu mengatakan keadaan sebenarnya.

Sungguh, jiwa-jiwa ini tak menginginkanmu tak makan enak sebagaimana Umar Ibn Abdul Aziz, pemimpin teladan itu. Kami juga tak ingin, engkau kekurangan seperti melaratnya rakyat yang kuceritakan di awal surat. Namun, hendaknya engkau waspada dengan apa yang didapat dari penjabatanmu di dunia. Sejatinya, rakyat ini tak kuasa menanggung malu jika pemimpin kami terjerumus di neraka lantaran masih banyak yang kekurangan sedang ia ‘sanggup’ hidup senang dan kurang mau melihat keadaan yang dipimpinnya.

Kami ingin pemimpin yang tak takut dengan hinaan orang lain karena pakaian sederhana yang dikenakan; makanan biasa namun halal dan bergizi yang dihidangkan; rumah tak cukup mewah yang menjadi tempat tinggal. Kami yakin, rakyatmu ini akan bersimpati dan terus mendukungmu; mendoakan di setiap saat bagi kebaikanmu sekeluarga; jika engkau mampu berbuat sebagaimana yang kami harap. Kami pun tidak memaksa engkau bersumpah palapa seperti Maha Patih Gadjah Mada; demi kesejahteraan rakyat.

Pemimpinku,

Mohon maaf atas kelancanganku bertutur saran kepadamu. Tak bermaksud menggurui, apalagi mendiktemu. Ini hanyalah harapan terdalam hati nurani. Yang ku tahu, dulu engkau punya mimpi atas keadilan, kesejahteraan, dan kemandirian bangsa ini. Karenanya, izinkan kami mendukung perjuanganmu dengan berharap engkau menjadi yang sebenarnya engkau mampu berbuat seperti itu.

Di penghujung surat ini, kami berdoa yang terbaik atas kehidupan dan penghidupanmu. Semoga kebaikan terlimpah bagi bangsa ini. Insya Allah, rakyat akan mendukung upaya terbaik bagi terciptanya keadilan dan kesejahteraan negeri ini.

Dari rakyatmu; boleh jadi dirimu waktu itu.

Referensi:
1. Tayangan Jika Aku Menjadi; Trans TV Edisi Selasa, 6 September 2011
2. Tulisan Nurhadi tentang Kezuhudan Umar bin Abdul Aziz, pada Hidayatullah.Com

No comments:

Post a Comment