Membaca sebuah renungan didalam buku yang berjudul “You Are Not Alone” yang ditulis oleh sahabat remaja saya, Arvan Pradiansyah. Membuat hati saya berkecamuk, bergetar dan menyisakan berbagai pertanyaan. Arvan, membuka bab 15 bukunya dengan mengilustrasikan sebuah kisah tentang Alfred Nobel. Begini kisahnya, suatu ketika Alfred Nobel sakit keras dalam jangka waktu yang cukup lama. Setelah lama tak terdengar kabarnya, suatu pagi sebuah surat kabar menyampaikan berita yang cukup mengejutkan: “Alfred Nobel, Sang Penemu Dinamit Meninggal Dunia”. Berita itu tentu saja mengejutkan terutama bagi Nobel sendiri yang sebenarnya saat itu masih hidup. Tapi terlepas dari keterkejutannya, Nobel menemukan sesuatu yang sangat mencerahkan. “Ternyata jika aku meninggal, aku akan dikenang sebagai penemu dinamit. Dinamit adalah sesuatu yang menghancurkan. Aku tak ingin dikenang sebagai penemu dinamit”, ujarnya.
Untunglah Nobel masih punya waktu untuk memperbaiki hidupnya. Ia justru dikenang sebagai orang yang membawa perdamaian bukannya yang menciptakan peperangan. Peristiwa itu membantu Nobel untuk menyusun misi hidupnya. Ia kini dikenang sebagai pembawa perdamaian dengan hadial Nobelnya.
Seperti apakah Anda ingin dikenang ketika Anda meninggalkan dunia ini? tanya Arvan, dalam bukunya. Pertanyaan inilah yang membuat hati saya berkecamuk, ya seperti apakah nanti kita dikenang oleh orang-orang terdekat kita, anak, istri (pasangan kita), keluarga besar, tetangga, teman se kantor, teman se organisasi dan masyarakat sekitar kita, ketika kita telah tiada?
Pikiran saya sepertinya tidak ingin segera menjawab pertanyaan di atas, namun malah jauh membayangkan sesuatu, ya membayangkan sebuah kematian. Saya sedang membayangkan keranda jenazah yang membawa jenazah saya (anda bisa membayang itu diri anda) ke pemakaman, saya membayangkan orang-orang terdekat kita, isteri, anak, keluarga, kerabat, teman-teman yang mengantarkan ke pemakaman. Mereka melihat jenazah dimasukkan ke liang lahat, dan melihat tanah-tanah yang menimbun jenazah tersebut. Setelah proses pemakaman selesai, kita bertanya-tanya, kenangan apa yang kira-kira dirasakan oleh orang-orang yang telah mengantarkan jenazah ke pemakaman itu?. Pertanyaan ini sangat penting untuk kita jawab. Dengan menjawab pertanyaan ini kita bukan hanya menemukan hal-hal yang penting dalam hidup kita tetapi hal-hal yang paling penting dan paling berharga.
Semua umat beragama mempercayai ada kehidupan setelah kehidupan di dunia ini. Sebagai seorang muslim, saya beriman kepada hari akhir, artinya bahwa setelah kehidupan di dunia ini, masih ada kehidupan yang panjang dan kekal di akherat kelak. Kematian jasad akan mengakhiri proses kehidupan. Namun ada 3 hal yang masih bisa berhubungan dengan jiwa orang tersebut diakherat, 3 hal tersebut adalah kebaikan kita, baik berupa perbuatan maupun harta benda yang diberikan dan dimanfaatkan bagi kehidupan kebaikan orang lain, sehingga orang terbantu dan memanfaatkan kebaikan tersebut untuk mengabdi kepada Tuhannya, atau yang biasa disebut sedekah jariyah, yang kedua adalah Ilmu yang bermanfaat dan Anak-anak yang berkualitas, memiliki akhlak yang baik yang memiliki prinsip dan menjunjung kebaikan atau yang biasa kita kenal dengan istilah anak yang saleh yang selalu mendoakan orang tuanya.
Kembali kepada sesi pemakaman tadi, jiwa kita akan melihat bahwa isteri kita yang telah bersama kita dalam suka dan duka, yang telah melahirkan dan membesarkan anak-anak dengan penuh kasih sayang, yang telah mendidik, melatihnya untuk beribadah dengan harapan menjadi anak yang saleh. Isteri kita telah kita tinggalkan untuk selamanya, kenangan apa yang telah kita tinggalkan untuknya?, apakah kenangan pahit, kenangan yang menyakitkan sehingga dia hanya berbasa-basi saja dengan kesedihannya, atau kenangan yang indah, mempesona dan membahagiakannya, sehingga dia betul-betul bersedih dan berjanji menjaga harta yang paling berharga kita yaitu anak-anak yang kita cintai agar menjadi anak yang saleh yang selalu mendoakan oranng tuanya?
Bagaimana kita melihat Anak-anak kita setelah kita tiada, apakah dia dapat hidup berkecukupan, apakah bekal ilmu dunia dan ilmu agama dapat membuat dirinya menjadi orang baik dan sukses, orang baik yang bermartabat dan orang baik yang bermanfaat buat orang lain dalam lingkup yang lebih besar. Apakah anak kita terus menjaga shalatnya, terus menjalankan ibadah dengan baik?, apakah setiap selesai shalat masih melaksanakan kebiasaannya mendoakan orang tua?. Semua yang baik-baik seperti ini adalah harapan kita semua, kita berharap anak-anak kita mengerti betapa kita mencintai mereka. Kita berupaya sekuat tenaga, pikiran untuk membuat dirinya siap menghadapi hari depan yang diharapkan?, namun apakah mereka bisa mengetahui dan mengenang hal ini seperti yang kita harapkan?
Bagaimana orang tua kita, kakak dan adik kita sepeninggalan kita?, apakah mereka akan mengenang kita dengan baik?, apakah silaturrahim selama ini terjaga dengan baik? Apakah kebiasaan saling membantu, berbagi dan saling mendoakan masih terus menjadi tradisi keluarga besar ini?, apakah mereka merasa kehilangan dan merindukan kebersamaan, bersenda gurau, bernyanyi dan beribadah bersama dan masa-masa yang begitu membahagiakan? Atau mereka hanya sekedar kehilangan sebentar dan melupakannya dalam beberapa hari?.
Bagaimana teman-teman kerja dan lingkungan kita mengenang kita?, apakah mereka merasa kehilangan orang yang telah bersama-sama kita dalam sebuah visi dan misi yang kita telah disepakati. Apakah mereka merasa mendapat manfaat dari keberadaan kita selama ini, apakah kita dapat memberikan kontribusi yang positif dari usaha yang diperjuangkan teman-teman kerja kita? atau sebaliknya mereka merasa senang dengan ketiadaan kita, bila kita pejabat, pasti sebentar lagi akan ada promosi untuk jabatan yang kita tinggalkan.
Membayangkan kondisi demikian membuat perasaan saya menjadi campur baur, ada rasa takut, khawatir, ragu-ragu, dan gamang. Namun, ada pula secercah harapan apabila kehidupan kita sehari-hari diisi dengan rasa saling menghargai, perhatian yang saling melengkapi dengan pasangan hidup kita dan curahan perhatian dan kasih sayang kepada anak-anak kita sehingga punya harapan yang besar mereka dapat diandalkan untuk memberi doa ketika kita telah tiada suatu hari kelak. Ada sebuah harapan apabila kita telah menjaga silaturahim, semangat saling berbagi, saling menghargai yang kita berikan kepada sahabat-sahabat kita, tetangga kita orang tua kita, sehingga mereka merasakan hidup yang tentram, bersemangat dan berbahagia seperti yang juga kita rasakan. Ada harapan bila kita dapat membuat suatu karya cipta yang sangat dibutuhkan masyarakat dan hasil karya tersebut terus digunakan sampai jauh setelah kita tiada.
Apakah kita harus sehebat Alfred Nobel agar dapat dikenang? Semua orang memiliki kapasitas yang berbeda, rasanya terlalu jauh kalau membandingkan diri kita (baca:saya) seperti Alfred Nobel. Kita perlu mengarahkan hidup kita, kita bisa meredefinisikan misi hidup kita, dan kita bisa merencanakan sebagai apa kita kelak dikenang. Buat saya, setelah membaca 2 buah buku terbaru dari Arvan Pradiansyah, yaitu buku 7 Laws of Happiness dan You Are Not Alone di atas, dan membaca 2 buah buku terjemahan dari Dr. Aidh bin Abdullah al-Qarni yang berjudul La Tahzan (Jangan Bersedih!) dan buku Berbahagialah.…, membuat saya berpikir bahwa ilmu yang bermanfaat tersebut bisa dimulai dari menyampaikan sebanyak-banyaknya tulisan yang bermafaat. Sebagai kepala keluarga, saya ingin dikenang sebagai kepala keluarga yang baik yang sukses mengantar kedua anak saya menggapai apa yang dicita-citakan. Sebagai anggota masyarakat, saya ingin dikenang sebagai guru yang mumpuni dan penulis buku yang bukunya menjadi inspirasi kebaikan bagi kehidupan banyak orang. Itulah sebagian misi hidup saya. Lalu, bagaimana dengan Anda, Anda ingin dikenang sebagai Apa?!.
Samarinda, 08 Nopember 2010.
Salam hangat,
JOKO WAHYONO
Tulisan sejenis ada di : www.jokowahyono.com
No comments:
Post a Comment