Oleh: Musyaffa Ahmad Rohim, Lc
dakwatuna.com – Ya Tuhan kami, Sesungguhnya Aku Telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, Ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, Maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, Mudah-mudahan mereka bersyukur. (Q.S. Ibrahim 37)
Dalam sebuah perjalanan, dan saat jauh meninggalkan keluarga dalam beberapa hari, tiba-tiba seorang aktivis dakwah –begitu orang lain menyebut status dirinya- mendapatkan informasi dari rumah bahwa anak pertamanya memerlukan biaya tambahan untuk sekolah, anak kedua, ketiga, dan keempat jatuh sakit, bahkan istri dan pembantunya pun juga jatuh sakit, sehingga uang “pengaman” yang ditinggalkannya semasa ia berangkat pergi menjadi sangat jauh berkurang, sebab, ia hanya meninggalkan sejumlah uang yang sekiranya mencukupi kebutuhan normal keluarganya selama ia tinggalkan. Begitu cerita yang saya dapatkan.
Saat mendengar cerita seperti ini, kontan saja saya teringat kepada kisah keluarga nabiyullâh Ibrâhîm –’alaihis-salâm- saat ia harus meninggalkan seorang istri dan putranya yang masih bayi dengan tanpa meninggalkan “pengaman” apapun, baik berupa makanan, air minum, uang belanja, keuarga besar yang bisa dimintai pertolongan saat terjepit, atau tetangga yang sangat mungkit dapat membantu meringankan beban, atau bentuk-bentuk “pengaman” lainnya
Saya membayangkan, sebagai seorang kepala keluarga yang bertanggung jawab, dan pasti sangat bertanggung jawab, nabiyullâh Ibrâhîm –’alaihis-salâm- tentulah sangat ingin meninggalkan dan membekali istri dan putra yang masih bayi itu dengan berbagai “pengaman”, akan tetapi, apa daya, semua ta’mînât (pengaman) itu memang benar-benar tidak ada. Dan sebagai seorang kepala keluarga yang saleh, dan sudah pasti ia berada pada shaf terdepan barisan orang-orang saleh (Q.S. Al-Baqarah: 130), ia merasa berat meninggalkan “seorang wanita” dan seorang bayi di sebuah lembah yang sangat panas, tiada air, tiada tanaman dan pepohonan, tiada binatang dan tiada manusia, bahasa Al-Qur’ân-nya: fî wâdin ghaira dzî zar’in, karenanya, saat ia meninggalkan “seorang wanita” dan bayi itu, ia “tidak berani” menoleh, dan “ngeloyor” begitu saja, “tanpa pamit, tanpa salam, tanpa bicara”, atau istilah arabnya: lâ salâm, walâ kalâm, sebab, bisa jadi –wallâhu a’lam- jika ia menoleh, ada kemungkinan ia menjadi tidak tega meninggalkan istri dan bayinya dalam keadaan seperti itu dan di sebuah tempat yang tidak ada sedikitpun ta’mînât (pengaman) di sana
.
Saya pun membayangkan, mungkinkah saya memiliki kemampuan untuk berbuat seperti itu? Tegakah saya berbuat seperti itu, sanggupkah istri saya saya sikapi seperti itu, tidakkah anak saya, pembantu saya dan orang-orang dekat saya akan menuntut hak-hak mereka saat saya pergi negloyor begitu saja? Ini bayangan saya.
Akan tetapi, apa yang saya baca tentang kisah keluarga nabiyullâh Ibrâhîm –’alaihis-salâm- adalah sebuah kenyataan, realita, bukan karangan dan bukan fiksi, kisah nabiyullâh Ibrâhîm –’alaihis-salâm- adalah fakta sejarah yang dicatat dalam sebuah kitab yang lâ ya’tîhi al-bâthilu baina yadaihi walâ min khalfihi, kitab yang datang dari Allâh Rabb al-’âlamîn dan dipertegas oleh wahyu kedua, yaitu sunnah Rasulullâh –shallallâhu ‘alaihi wa sallam-
Lalu, kita pun bertanya-tanya, apa rahasia yang membuat nabiyullâh Ibrâhîm –’alaihis-salâm- memiliki ketahanan seperti itu? Dan apa pula yang menjadikan istri dan bayinya juga memiliki ketahanan yang sepadan dengan yang dia miliki?
No comments:
Post a Comment